Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Dalam hal ini, teori manajmemen makna terkoordinasi menggambarkan manusia sebagai actor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai (Cronen, Pearce & Harris; 1982)
Seluruh Dunia adalah Sebuah Panggung
Hidup ini diibaratkan sebagai “teater tanpa sutradara”. Manusia di dalam teater (hidup) tersebut berperan sebagai aktor-aktor yang mengikuti semacam perilaku dramatis. Drama yang dimainkan adalah realitas hidup mereka. Sehingga, manusia dalam hidupnya secara tidak sadar seakan-akan menyutradarai hidupnya sendiri bagai sebuah teater disamping mereka menjadi aktor utama dalam hidupnya tersebut. Dan kemudian mereka memaknai drama yang dimainkan tersebut dengan mengkoordinasikan makna yang dimiliki masing-masing individu menjadi makana yang sama merujuk pada naskah drama yang dimainkan.
Asumsi-asumsi Manajemen Makna Terkoordinasi
1. Manusia hidup dalam komunikasi. Asumsi ini maksudnya komunikasi adalah, dan akan selalu, menjadi lebih penting bagi manusia seharusnya. Hal ini didasari bahwa situasi sosial diciptakan melalui interaksi manusia. Dari interaksi tersebut akan memunculkan percakapan-percakapan untuk menciptakan realitas. Jadi, asumsi ini menolak jenis komunikasi tradisional (komunikasi linier).
2. Manusia saling menciptakan realitas sosial. Asumsi ini menjelaskan bahwa dasar yang dipelajari dari teori ini adalah percakapan. Dengan percakapan manuasia akan saling menciptakan realitas sosial dalam percakapaan tersebut (konstruksionisme sosial). Ketika dua orang terlibat dalam pembicaraan, masing-masing telah memilki banyak sekali pengalaman bercakap-cakap di masa lalu dari realitas-realitas sosial sebelumnya. Kemudian yang terjadi sekarang, percakapan akan memunculkan realitas baru karena dua orang dating dengan sudut pandang yang berbeda. Melalui cara ini manusia saling menciptakan realitas sosial yang baru.
3. Transaksi informasi bergantung kepada makna pribadi dan interpersonal. Asumsi ini menekankan pengendalian percakapan. Dalam suatu percakapan sesorang pasti memiliki makna pribadi dalam menginterpretasikan percakapan yang dilakukannya. Dan kemudian makna pribadi ditransaksikan hingga para peserta percakapan menyepakati mengenai interpretasi satu sama lain hingga membentuk makna interpersonal.
Hierarki dari Makna yang Terorganisasi
Para teoritikus manajemen makna terkoordinasi mengemukakan enam elemen makna, yaitu:
1. Isi (content), merupakan langkah awal di mana data mentah dikonversikan menjadi makna.
2. Tindak tutur (speech act), merujuk pada tindakan-tindakan yang kita lakukan dengan cara berbicara termasuk memuji, menghina, berjanji, mengancam, menyatakan dan bertanya.
3. Episode (episode), merujuk pada rutinitas komunikasi memiliki awal, pertengahan dan akhir yang jelas.
4. Hubungan (relationship), dapat diartikan sebagai kontrak kesepakatan dan pengertian antara dua orang di mana terdapat tuntunan dalam berperilaku.
5. Naskah kehidupan (life scripts), merujuk pada kelompok-kelompok episode masa lalu atau masa kini yang menciptakan suatu system makna yang dapat dikelola bersama dengan orang lain.
6. Pola budaya (cultural pattern), merujuk pada gambaran mengenai dunia dan bagaimana berhubungan seseorang dengan hal tersebut.
Koordinasi Makna: Mengartikan Urutan
Koordinasi (coordination) ada ketika dua orang berusaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan dalam percakapan mereka. Hasil yang mungkin dalam perbincangan ada tiga, yaitu: mencapai koordinasi, tidak mencapai koordinasi, atau mencapai koordinasi pada tingkat tertentu (Philipsen, 1995). Dari ketiga hasil tersebut yang paling mungkin adalah mencapai koordinasi pada tingkat tertentu karena sulit untuk mencapai koordinasi yang sempurna dan menyeluruh.
Pengaruh Terhadap Proses Koordinasi
Koordinasi dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk moralitas dan ketersediaan sumber daya. Moralitas harus dianggap sebagai sesuatu yang lebih penting dan lebih tinggi. Hal ini didasari bahwa setiap orang membawa berbagai tingkat moral kedalam percakapan. Selain moralitas, koordinasi juga dipengaruhi sumberdaya (resources), mereka merujuk pada cerita, gambar, simbol, dan institusi yang digunakan orang untuk memaknai dunia mereka (Pearce, 1989)
Aturan dan Pola Berulang yang Tidak Diinginkan
Salah satu cara yang digunakan individu untuk mengelola dan mengkoordinasikan makna adalah melalui penggunaan aturan. Ada dua tipe aturan: pertama, aturan konstitutif yang merujuk pada bagaimana perilaku harus diinterpretasikan dalam suatu konteks. Aturan ini memberitahukan kita makna dari suatu perilaku tertentu. Sedangkan yang kedua, aturan regulative yang merujuk pada urutan yang dilakukan seseorang, dan menyampaikan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam sebuah percakapan. Aturan ini memberikan tuntunan kepada orang untuk berperilaku. Suatu ketika ada batasan antara aturan konstitutif dan regulatif selama digunakan dalam proses percakapan, apabila terjadi perseteruan akan timbul pola berulang yang tidak diinginkan (unwanted repetitive patterns), atau konflik yang berulang dan tidak diinginkan yang terjadi dalam sebuah hubungan.
Rangkaian Seimbang dan Rangkaian Tidak Seimbang
Sebelumnya kita telah mengetahui enam elemen makna yang apabila disusun dari level yang lelah tinggi ke level yang lebih rendah: pola budaya, naskah kehidupan, hubungan, episode, tindak tutur dan isi. Ketika rangkaian berjalan dengan konsisten melalui tindakan-tindakan yang ada dalam hierarki maka disebut rangkaian seimbang (charmed loop). Dan suatu ketika, beberapa episode dapat menjadi tidak konsisten dengan level-level yang lebih tinggi didalam hierarki yang ada maka hal tersebut dinamai rangkaian tidak seimbang (strange loop).
Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar