Stanley Baran dan Dennis Davis (2003) menyimpulkan bahwa “media telah menjadi alat utama dimana kita semua mengalami atau belajar mengenai banyak aspek mengenai dunia disekitar kita. Tetapi, cara yang digunakan media dalam melaporkan suatu peristiwa dapat berbeda secara signifikan. Kajian budaya adalah perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Stuart Hall (1981, 1989) menyatakan bahwa media merupakan alay yang kuat bagi kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berfikir yang dominan, tanpa mempedulikan efektifitas pemikiran tersebut. Media merepresentasikan ideologi dari kelas yang dominan didalam masyarakat. Karena media dikontrol oleh korporasi (kaum elite), informasi yang ditampilkan kepada publik juga pada akhirnya dipengaruhi dan ditargetkan dengan tujuan untuk mencapai keuntungan. Pengaruh media dan peranan kekuasaan harus dipetimbangkan ketika menginterpretasikan suatu budaya.
Warisan Marxis: Kekuatan bagi Masyarakat
Filsuf Karl Marx (1963) dihargai sebagai orang yang mampu mengidentifikasi bagaimana mereka yang memiliki kekuasaan (kaum elite) mengeksploitasi yang lemah (kelas pekerja). Marx percaya bahwa keadaan lemah dapat menuntun pada terjadinya alienasi (kondisi psikologis dimana orang mulai merasa bahwa mereka memiliki sedikit control terhdap masa depan mereka). Salah satu keinginan Marx adalah memastikan bahwa tindakan revolusioner dari kaum proletariat dapat dilakukan untuk memutus mata rantai perbudakan dan untuk mmengurangi alienasi di dalam masyarakat yang kapitalistik
Penerapan prinsip-prisnsip Marxis apada kajian budaya cuma samapai pada batasan tertentu saja (neo-marxis), yaitu: (1) mereka yang ada dalam kajian budaya telah menginterogasikan berbagai macam perspektif kedalam pemikiran mereka, termasuk perspektif dari kesenian, humaniora, dan ilmu sosial. (2) para teoritikus kajian budaya juga memasukkan kelompok marginal yang tidak memiliki kekuasaan tambahan, tidak terbatas pada para pekerja saja.
Asumsi Kajian Budaya
1. Budaya tersebar didalam dan menginasi semua sisi perilaku manusia. Berbagai norma, ide dan nilai dan bentuk-bentuk pemahaman di dalam sebuah masyarakat yang membantu orang untuk menginterpretasikan realitas mereka adalah bagian dari ideologi sebuah budaya. Hall (1981), ideologi merujuk pada “gambaran konsep, dan premis yang menyediakan kerangka pemikiran dimana kita merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami dan memaknai” beberapa aspek eksistensi sosial. Hall yakin bahwa ideologi mencakup bahasa, konsep, kategori yang dikumpulkan oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda untuk memaknai lingkungan mereka. Graham Murdock (1989) menekankan ketersebaran budaya dengan menyatakan bahwa “semua kelompok secara konstan terlibat dalam menciptakan dan menciptakan ulang system makna dan memberikan bentuk kepada makna ini dalam bentuk-bentuk ekspresif, praktik-praktik sosial, dan institusi-institusi”. Secara menarik dan dapat diduga, Murdock melihat bahwa menjadi bagian dari komunitas budaya yang beragam sering mengakibatkan pergulatan makna, interpretasi, identitas dan control. Pergulatan-pergulatan ini atau perang budaya menunjukkan bahwa seringkali terdapat pemisahan-pemisahan yang dalam persepsi mengenai pentingnya suatu isu atau peristiwa budaya. Makna dalam budaya dibentuk oleh media. Michael Real (1996) berpendapat “media menginvasi runga kehidupan kita, membentuk selera dari mereka yang berada disekitar kita, memberikan informasi dan mempersuasi kita mengenai produk dan kebijakan, mencampuri mimpi pribadi dan ketakutan publik kita, dan sebagai gantinya, mengundang kita untuk hidup didalam mereka”.
2. Orang merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat hierarkis. Kekuasaan bekerja didalam semua leel kemanusiaan (Grossberg, 1989), dan secara berkesinambungan membatasi keunikan identitas (Weedon, 2004). Makna dan kekuasaan berkaitan erat, “makna tidak dapat dikonseptualisasikan diluar bidang permainan dari hubungan kekuasaan” (Hall, 1989). Dalam kaitannya dengan tradisi Marxis, kekuasaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh kelompok sub-ordinat tetapi tidak dapat dicapai. Seringkali terjadi pergulatan untuk kekuasaan, dan pemenangnya biasanya adalah orang yang berada dipuncak hierarki sosial. Mungkin sumber kekuatan yang paling mendasar didalam masyarakat adalah media. Dalam budaya yang beragam, tidak ada institusi yang harus memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang di dengar oleh publik. Gery Woodward (1997) juga menarik kesimpulan serupa ketika ia menyatakan bahwa terdapat sebuah tradisi dimana jurnalis bertindak sebagai pelindung dari kegiatan budaya bangsa: jika media menganggap sesuatu untuk memiliki nilai yang penting, maka sesuatu tersebut penting: suatu peristiwa yang sebenarnya tidak penting menjadi penting.
Hegemoni: Pengaruh Terhadap Masa
Hegemoni dapat didefinisikan sebagai pengaruh, kekuasasan, atau dominasi dari sebuah kelompok sosial terhadap yang lain. Antonio Gramsci mendasarkan Hegemoni pada pemikiran Marx mengenai kesadaran palsu (orang tidak sadar akan adanya dominasi didalam kehidupan mereka). Gramsci berpendapat bahwa khalayak dapat dieksploitasi oleh system sosial yang juga mereka dukung (secara financial). Gramsci merasa bahwa kelompok-kelompok yang dominan didalam masyarakat berhasil mengarahkan orang menjadi tidak waspada. Persetujuan adalah komponen utama dari Hegemoni. Serta kita mengetahui, budaya korporat sekarang ini menekankan pengambilan keputusan untuk persetujuan sering didominasi oleh kelompok yang dominan.
Hegemoni Tandingan: Masa mulai Mempengaruhi Kekuatan Dominan
Khalayak tidak selalu tertipu untuk menerima dan mempercayai apapun yang diberikan oleh kekuatan dominan. Khalayak terkadang juga akan menggunakan seumber daya dan strategi yang sama seperti yang digunakan oleh kelompok sosial yang dominan. Hingga pada batas tertentu, individu-individu akan menggunakan praktik-praktik dominasi Hegemonis yang sama untuk menantang dominasi yang ada (hegemoni tandingan). Hegemoni tandingan penting dalam kajian budaya sebab menunjukkan bahwa khalayak tidak selamanya diam dan menurut. Maksudnya, didalam hegemoni tandingan, para peneliti berusaha untuk memperbesar volume suara yang selama ini dibungkam. Pemikiran mengenai hegemoni tandingan sebagai suatu titik dimana individu-individu menyadari mengenai ketaatan mereka dan berusaha melakukan sesuatu mengenai hal tersebut.
Pendekodean oleh Khalayak
Pendekodean sangat penting didalam kajian budaya. Para teoritikus berpendapat bahwa publik harus dilihat sebagai bagian dari konteks budaya yang lebih besar, sebuah konteks dimana mereka yang berjuang untuk menyuarakan diri mereka sedang di tindas (Budd dan Steinmann, 1992) karena seperti yang kita tahu mereka secara tidak sadar menaati pesan yang disampaikan oleh ideologi dominan. Ada tiga sudut pandang yang digunakan khalayak untuk melakukan pendekodean pesan, yaitu :
1. Posisi dominan – hegemonis, hal ini berpendapat bahwa indiidu-individu bekerja didalam sebuah kode yang mendominasi dan menjalankan kekuasaan yang lebih besar daripada lainnya.
2. Posisi ternegosiasi, hal ini berpendapat bahwa anggota khalayak dapat menerima ideologi dominan tetapi akan bekerja dengan beberapa pengecualian terhadap aturan budaya.
3. Posisi oposisional, hal ini berpendapat bahwa anggota khalayak mensubtitusikan kode alternatif bagi kode yang disediakan oleh media.
Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar