Jumat, 06 Agustus 2010

Pengantar Statistik Sosial

Silahkan Download pada link yang tersedia. Terima Kasih

Pengertian Statistik Download disini
Pengolahan Data Statistik Download disini
Statistik Distribusi Frekuensi Download disini
Statistik : Ukuran Tendensi Sentral Download disini
Statistik : Ukuran Variabilitas Download disini
Statistik : Product Moment Download disini
Statistik : Chi Kuadrat Download disini
Statistik : Pengujian Hipotesis Download disini

Sumber : Bahan Kuliah Mata Kuliah Pengantar Statistik Sosial FISIP Universitas Diponegoro Semarang

Pengantar Filsafat Ilmu

Silahkan Download pada link yang tersedia. Terima Kasih

Memahami Filsafat : Sebuah Pengantar Download disini
Filsafat, Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan Download disini
Pengetahuan dan Keyakinan Download disini
Sumber Pengetahuan : Rasionalisme dan Empirisme Download disini
Kebenaran Ilmiah Download disini
Masalah Kepastian dan Fabilisme Moderat Download disini
Ilmu Pengetahuan dan Life-World Download disini
Ilmu Pengetahuan dan Politik Download disini
Masalah Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan Download disini

Sumber : Bahan Kuliah Mata Kuliah Pengantar Filsafat Ilmu Universitas Diponegoro Semarang

Komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal Communication)

Silahkan Download pada link yang tersedia. Terima Kasih

Pengertian Komunikasi Antar Download disini
Elemen Dasar Komunikasi Antar Pribadi Download disini
Konsep Diri Download disini
Komunikasi Non-Verbal dalam Komunikasi Antar Pribadi Download disini
Pengungkapan Diri Download disini

Sumber : Bahan Kuliah Mata Kuliah Komunikasi Antar Pribadi FISIP Universitas Diponegoro Semarang

Dasar Komunikasi Strategis

Silahkan Download melalui link yang tersedia. Terima Kasih

Hubungan Masyarakat Download disini
Opini Publik Download disini
Komunikasi Pemasaran Sosial (Social Marketing) Download disini

Sumber : Bahan Kuliah Mata Kuliah Dasar Komunikasi Strategis FISIP Universitas Diponegoro Semarang

Teori Komunikasi : Memahami Teori Komunikasi, Cetak Biru (Blueprint), Tradisi dan Proses Inquiry

Silahkan Download melalui link yang sudah tersedia. Terima Kasih

Blue Print Teori Komunikasi Download disini
Cetak Biru Teori Komunikasi Download disini
Memahami Teori Komunikasi Download disini
Proses Inquiry Teori Komunikasi Download disini
Tradisi Komunikasi Download disini

Sumber : Bahan Kuliah Mata Kuliah Teori Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang

Teori Komunikasi : Kajian Budaya (Stuart Hall)

Stanley Baran dan Dennis Davis (2003) menyimpulkan bahwa “media telah menjadi alat utama dimana kita semua mengalami atau belajar mengenai banyak aspek mengenai dunia disekitar kita. Tetapi, cara yang digunakan media dalam melaporkan suatu peristiwa dapat berbeda secara signifikan. Kajian budaya adalah perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Stuart Hall (1981, 1989) menyatakan bahwa media merupakan alay yang kuat bagi kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berfikir yang dominan, tanpa mempedulikan efektifitas pemikiran tersebut. Media merepresentasikan ideologi dari kelas yang dominan didalam masyarakat. Karena media dikontrol oleh korporasi (kaum elite), informasi yang ditampilkan kepada publik juga pada akhirnya dipengaruhi dan ditargetkan dengan tujuan untuk mencapai keuntungan. Pengaruh media dan peranan kekuasaan harus dipetimbangkan ketika menginterpretasikan suatu budaya.

Warisan Marxis: Kekuatan bagi Masyarakat
Filsuf Karl Marx (1963) dihargai sebagai orang yang mampu mengidentifikasi bagaimana mereka yang memiliki kekuasaan (kaum elite) mengeksploitasi yang lemah (kelas pekerja). Marx percaya bahwa keadaan lemah dapat menuntun pada terjadinya alienasi (kondisi psikologis dimana orang mulai merasa bahwa mereka memiliki sedikit control terhdap masa depan mereka). Salah satu keinginan Marx adalah memastikan bahwa tindakan revolusioner dari kaum proletariat dapat dilakukan untuk memutus mata rantai perbudakan dan untuk mmengurangi alienasi di dalam masyarakat yang kapitalistik
Penerapan prinsip-prisnsip Marxis apada kajian budaya cuma samapai pada batasan tertentu saja (neo-marxis), yaitu: (1) mereka yang ada dalam kajian budaya telah menginterogasikan berbagai macam perspektif kedalam pemikiran mereka, termasuk perspektif dari kesenian, humaniora, dan ilmu sosial. (2) para teoritikus kajian budaya juga memasukkan kelompok marginal yang tidak memiliki kekuasaan tambahan, tidak terbatas pada para pekerja saja.

Asumsi Kajian Budaya
1. Budaya tersebar didalam dan menginasi semua sisi perilaku manusia. Berbagai norma, ide dan nilai dan bentuk-bentuk pemahaman di dalam sebuah masyarakat yang membantu orang untuk menginterpretasikan realitas mereka adalah bagian dari ideologi sebuah budaya. Hall (1981), ideologi merujuk pada “gambaran konsep, dan premis yang menyediakan kerangka pemikiran dimana kita merepresentasikan, menginterpretasikan, memahami dan memaknai” beberapa aspek eksistensi sosial. Hall yakin bahwa ideologi mencakup bahasa, konsep, kategori yang dikumpulkan oleh kelompok-kelompok sosial yang berbeda untuk memaknai lingkungan mereka. Graham Murdock (1989) menekankan ketersebaran budaya dengan menyatakan bahwa “semua kelompok secara konstan terlibat dalam menciptakan dan menciptakan ulang system makna dan memberikan bentuk kepada makna ini dalam bentuk-bentuk ekspresif, praktik-praktik sosial, dan institusi-institusi”. Secara menarik dan dapat diduga, Murdock melihat bahwa menjadi bagian dari komunitas budaya yang beragam sering mengakibatkan pergulatan makna, interpretasi, identitas dan control. Pergulatan-pergulatan ini atau perang budaya menunjukkan bahwa seringkali terdapat pemisahan-pemisahan yang dalam persepsi mengenai pentingnya suatu isu atau peristiwa budaya. Makna dalam budaya dibentuk oleh media. Michael Real (1996) berpendapat “media menginvasi runga kehidupan kita, membentuk selera dari mereka yang berada disekitar kita, memberikan informasi dan mempersuasi kita mengenai produk dan kebijakan, mencampuri mimpi pribadi dan ketakutan publik kita, dan sebagai gantinya, mengundang kita untuk hidup didalam mereka”.
2. Orang merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang bersifat hierarkis. Kekuasaan bekerja didalam semua leel kemanusiaan (Grossberg, 1989), dan secara berkesinambungan membatasi keunikan identitas (Weedon, 2004). Makna dan kekuasaan berkaitan erat, “makna tidak dapat dikonseptualisasikan diluar bidang permainan dari hubungan kekuasaan” (Hall, 1989). Dalam kaitannya dengan tradisi Marxis, kekuasaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh kelompok sub-ordinat tetapi tidak dapat dicapai. Seringkali terjadi pergulatan untuk kekuasaan, dan pemenangnya biasanya adalah orang yang berada dipuncak hierarki sosial. Mungkin sumber kekuatan yang paling mendasar didalam masyarakat adalah media. Dalam budaya yang beragam, tidak ada institusi yang harus memiliki kekuasaan untuk menentukan apa yang di dengar oleh publik. Gery Woodward (1997) juga menarik kesimpulan serupa ketika ia menyatakan bahwa terdapat sebuah tradisi dimana jurnalis bertindak sebagai pelindung dari kegiatan budaya bangsa: jika media menganggap sesuatu untuk memiliki nilai yang penting, maka sesuatu tersebut penting: suatu peristiwa yang sebenarnya tidak penting menjadi penting.

Hegemoni: Pengaruh Terhadap Masa
Hegemoni dapat didefinisikan sebagai pengaruh, kekuasasan, atau dominasi dari sebuah kelompok sosial terhadap yang lain. Antonio Gramsci mendasarkan Hegemoni pada pemikiran Marx mengenai kesadaran palsu (orang tidak sadar akan adanya dominasi didalam kehidupan mereka). Gramsci berpendapat bahwa khalayak dapat dieksploitasi oleh system sosial yang juga mereka dukung (secara financial). Gramsci merasa bahwa kelompok-kelompok yang dominan didalam masyarakat berhasil mengarahkan orang menjadi tidak waspada. Persetujuan adalah komponen utama dari Hegemoni. Serta kita mengetahui, budaya korporat sekarang ini menekankan pengambilan keputusan untuk persetujuan sering didominasi oleh kelompok yang dominan.

Hegemoni Tandingan: Masa mulai Mempengaruhi Kekuatan Dominan
Khalayak tidak selalu tertipu untuk menerima dan mempercayai apapun yang diberikan oleh kekuatan dominan. Khalayak terkadang juga akan menggunakan seumber daya dan strategi yang sama seperti yang digunakan oleh kelompok sosial yang dominan. Hingga pada batas tertentu, individu-individu akan menggunakan praktik-praktik dominasi Hegemonis yang sama untuk menantang dominasi yang ada (hegemoni tandingan). Hegemoni tandingan penting dalam kajian budaya sebab menunjukkan bahwa khalayak tidak selamanya diam dan menurut. Maksudnya, didalam hegemoni tandingan, para peneliti berusaha untuk memperbesar volume suara yang selama ini dibungkam. Pemikiran mengenai hegemoni tandingan sebagai suatu titik dimana individu-individu menyadari mengenai ketaatan mereka dan berusaha melakukan sesuatu mengenai hal tersebut.

Pendekodean oleh Khalayak
Pendekodean sangat penting didalam kajian budaya. Para teoritikus berpendapat bahwa publik harus dilihat sebagai bagian dari konteks budaya yang lebih besar, sebuah konteks dimana mereka yang berjuang untuk menyuarakan diri mereka sedang di tindas (Budd dan Steinmann, 1992) karena seperti yang kita tahu mereka secara tidak sadar menaati pesan yang disampaikan oleh ideologi dominan. Ada tiga sudut pandang yang digunakan khalayak untuk melakukan pendekodean pesan, yaitu :
1. Posisi dominan – hegemonis, hal ini berpendapat bahwa indiidu-individu bekerja didalam sebuah kode yang mendominasi dan menjalankan kekuasaan yang lebih besar daripada lainnya.
2. Posisi ternegosiasi, hal ini berpendapat bahwa anggota khalayak dapat menerima ideologi dominan tetapi akan bekerja dengan beberapa pengecualian terhadap aturan budaya.
3. Posisi oposisional, hal ini berpendapat bahwa anggota khalayak mensubtitusikan kode alternatif bagi kode yang disediakan oleh media.

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Teori Komunikasi : Paradigma Naratif (Walter Fisher)

Paradigma naratif mengemukakan keyakinan bahwa manusia adalah seseorang pencerita dan bahwa pertimbangan akal ini, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Manusia lebih mudah terbujuk oleh sebuah cerita yang bagus daripada argument yang baik. Paradigm naratif mengkonsepkan bahwa manusia adalah pencerita dan manusia mengalami kehidupan dalam suatu bentuk narasi.
Logika narasi lebih dipilih dibandingkan logika tradisional yang digunakan dalam argumentasi. Logika narasi (logika dari pemikiran yang luas), menyatakan bahwa orang menilai kredibilitas pembicara melalui apakah ceritanya runtut (mempunyai koherensi) dan terdengar benar (mempunyai ketepatan). Paradigm naratif memungkinkan sebuah penilaian demokratis terhadap pembicara karena tidak ada seorang pun yang harus dilatih secara khusus agar mampu menarik kesimpulan berdasarkan konsep koherensi dan kebenaran.

Asumsi Paradigma Naratif
1. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencerita.
2. Keputusan mengenai harga diri dari sebuah cerita didasarkan pada “pertimbangan yang sehat”.
3. Pertimbangan yang sehat ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya, dan karakter.
4. Rasionalitas didasarkan pada penilaian orang mengenai konsistensi dan kebenaran sebuah cerita.
5. Kita mengalami dunia sebagai dunia yang diisi dengan cerita, dan kita harus memilih dari cerita yang ada.

Konsep Kunci dalam Pendekatan Naratif
Beberapa konsep kunci yang membentuk inti dari kerangka pendekatan naratif, yaitu:
1. Narasi, adalah deskripsi verbal atau nonverbal apapun dengan urutan kejadian yang oleh para pendengar diberi makna.
2. Rasionalitas naratif, adalah standar untuk menilai cerita mana yang dipercayai dan mana yang diabaikan.
3. Koherensi, adalah konsistensi internal dari sebuah naratif. Tiga tipe konsistensi dalam koherensi, yaitu:
• Koherensi structural, berpijak pada tingkatan dimana elemen-elemen dari sebuah cerita mengalir dengan lancar.
• Koherensi material, merujuk pada tingkat kongruensi antara satu cerita dengan cerita lainnya yang sepertinya berkaitan dengan cerita tersebut.
• Koherensi karakterologis, merujuk pada dapat dipercaya karakter-karakter didalam sebuah cerita.
4. Kebenaran, adalah reliabilitas dari sebuah cerita.
5. Logika dengan pertimbangan yang sehat, adalah seperangkat nilai untuk menerima suatu cerita sebagi benar dan berharga untuk diterima: memberikan suatu metode untuk menikai kebenaran. Hal ini berarti bahwa pertimbangan yang sehat manapun setara dengan yang lainnya: ini berarti bahwa apapun yang mendorong orang untuk percaya sebuah naratif tergantung pada nilai atau konsepsi yang baik.

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008












Teori Komunikasi : Dramatisme (Kenneth Burke)

Teori dramatisme adalah teori yang mencoba memahami tindakan kehidupan manusia sebagai drama. Dramatisme, sesuia dengan namanya, mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama, menempatkan suatu focus kritik pada adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain. Seperti dalam drama, adegan dalam kehidupan adalah penting dalam menyingkap motivasi manusia. Dramatisme memberikan kepada kita sebuah metode yang sesuai untuk membahas tindakan komunikasi antara teks dan khalayak untuk teks, serta tindakan di dalam teks itu sendiri.
Drama adalah metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan: (1) drama menghasilkan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat klaim yang terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. (2) drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musical, melodrama dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk dan menggunakan bahasa dapat berhubungan dengan cara drama manusia ini dimainkan. (3) drama selalu ditujukan pada khalayak. Drama dalam hal ini bersifat retoris. Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk hidup”, artinya bahwa literature atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan reaksi untuk menghadapi pengalaman ini. Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara-cara dimana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan khalayak.

Asumsi Dramatisme
1. Manusia adalah hewan yang menggunakan symbol. Beberapa hal yang dilakukan manusia dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan beberapa hal lainnya dimotivasi oleh symbol-simbol. Dari semua symbol yang digunakan manusia yang paling penting adalah bahasa.
2. Bahasa dan symbol membentuk sebuah system yang sangat penting bagi manusia. Sapir dan Whorf (1921; 1956) menyatakan bahwa sangat sulit untuk berfikir mengenai konsep atau objek tanpa adanya kata-kata bagi mereka. Jadi, orang dibatasi (dalam batas tertentu) dalam apa yang dapat mereka pahami oleh karena batasan bahasa mereka. Ketika manusia menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tertentu. Ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai symbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif tersebut. Kata-kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang sangat dekat satu sama lain.
3. Manusia adalah pembuat pilihan. Dasar utama dari dramatisme adalah pilihan manusia. Hal ini ada keterikatannya dengan konseptualisasi akan agensi (agency), atau kemampuan actor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya.

Dramatisme sebagai Retorika Baru
Dramatisme merupakan retorika baru. Bedanya dengan retorika lama adalah retorika baru lebih menekankan pada identifikasi dan hal ini dapat mencakup faktor-faktor yang secara parsial “tidak sadar” dalam mengajukan pernyataannya disamping retorika yang lama menekankan pada persuasi dan desain yang terencana.

Identifikasi dan Substansi
Substansi (sifat umum dari sesuatu) dapat digambarkan dalam diri seseorang dengan mendaftar karakteristik demografis serta latar belakang dan fakta mengenai situasi masa kini, seperti bakat dan pekerjaan. Burke berargumen bahwa ketika terdapat ketumpangtindihan antara dua orang dalam hal substansi mereka, mereka mempunyai identifikasi (ketika dua orang memiliki ketumpangtindihan pada substansi mereka). Semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin besaridentifikasi yang terjadi. Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan (ketika dua orang gagal untuk mempunyai ketumpangtindihan dalam substansi mereka). Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya memiliki ketumpangtindihan satu dengan lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah-masalah substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya “disatukan dan dipisahkan” (Burke, 1950). Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan. Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi (ketika permohonan dibuat untuk meningkatkan ketumpangtindihan antara orang), atau meningkatkan identifikasi mereka satu sama lain.

Proses Rasa Bersalah dan Penebusan
Konsubstansiasi, atau masalah mengenai identifikasi dan substansi, berhubungan dengan siklus rasa bersalah/penebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan keseluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah (tekanan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang menyebalkan lainnya) adalah motif utama untuk semua aktifitas simbolik, dan Burke mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik, atau perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Hal yang sama dalam teori Burke adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsic yang ada dalam kondisi manusia. Karena it uterus merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di dalam siklus Burke, yang mengikuti pola yang dapat diprediksi:
1. Tatanan atau hierarki (peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kempuan kita untuk menggunakan bahasa).
2. Negatifitas (menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial; memperlihatkan resistensi).
3. Pengorbanan (cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri kita dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari menjadi manusia). Ada dua metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan diri sendiri) dan pengkambinghitaman (salah satu metode untuk memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan orang lain).
4. Penebusan (penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diampuni sementara).

Pentad
Selain mengembangkan teori dramatisme, Burke (1954) menciptakan suatu metode untuk menerapkan teorinya terhadap sebuah pemahaman aktifitas simbolik. Metode tersebut adalah pentad (metode untuk menerapkan dramatisme). Hal-hal ini yang diperhatikan untuk menganalisis teks simbolik, yaitu:
1. Tindakan (sesuatu yang dilakukan oleh seseorang).
2. Adegan (konteks yang melingkupi tindakan).
3. Agen (orang yang melakukan tindakan).
4. Agensi (cara-cara yang digunakan untuk melakukan tindakan).
5. Tujuan (hasil akhir yang dimiliki agen dari suatu tindakan).
6. Sikap (cara dimana agen memosisikan diri relative terhadap elemen lain).
Kita menggunakan pentad untuk menganalisis sebuah interaksi simbolik, penganalisis pertama-tama menentukan sebuah elemen dari pentad dan mengidentifikasi apa yang terjadi dalam suatu tindakan tertentu. Setelah memberikan label pada poin-poin dari pentad dan menjelaskannya secara menyeluruh, analisis kemudian mempelajari rasio dramatistik (proporsi dari satu elemen pentad dibandingkan dengan elemen lainnya).

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Teori Komunikasi : Retorika (Aristoteles)

Teori retorika berpusat pada pemikiran mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi yang tersedia. Maksudnya, seorang pembicara yang tertarik untuk membujuk khalayknya harus mempertimbangkan tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos) dan etika/kredibilitas (ethos). Khalayak merupakan kunci dari persuasi yang efektif, dan silogisme retoris, yang memandang khalayak untuk menemukan sendiri potongan-potongan yang hilang dari suatu pidato, digunakan dalam persuasi. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa teori retorika adalah teori yang yang memberikan petunjuk untuk menyusun sebuah presentasi atau pidato persuasive yang efektif dengan menggunakan alat-alat persuasi yang tersedia.

Asumsi-asumsi Retorika
1. Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan khlayak mereka. Asumsi ini menekankan bahwa hubungan antara pembicara – khlayak harus dipertimbangkan. Para pembicara tidak boleh menyusun atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan khalayaknya, tetapi mereka harus berpusat pada khalayak. Dalam hal ini, khalayak dianggap sebagai sekelompok besar orang yang memiliki motivasi, keputusan, dan pilihan dan bukannya sebagai sekelompok besar orang yang homogeny dan serupa. Asumsi ini menggarisbawahi definisi komunikasi sebagai sebuah proses transaksional. Agar suatu pidato efektif harus dilakukan analisis khalayak (audience analysis), yang merupakan proses mengevaluasi suatu khalayak dan latar belakangnya dan menyusun pidatonya sedemikian rupa sehingga para pendengar memberikan respon sebagaimana yang diharapkan pembicara.
2. Pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam presentasi mereka. Asumsi ini berkaitan dengan apa yang dilakukan pembicara dalam persiapan pidato mereka dan dalam pembuatan pidato tersebut. Bukti-bukti yang dimaksudkan ini merujuk pada cara-cara persuasi yaitu: ethos, pathos dan logos. Ethos adalah karakter, intelegensi, dan niat baik yang dipersepsikan dari seorang pembicara. Logos adalah bukti logis atau penggunaan argument dan bukti dalam sebuah pidato. Pathos adalah bukti emosional atau emosi yang dimunculkan dari para anggota khalayak.

Argument Tiga Tingkat (Silogisme dan Entimem)
Logos adalah salah satu dari tiga bukti yang menurut Aristoteles menciptakan pesan yang lebih efektif. Berpegang pada bukti-bukti logis ini merupakan sesuatu yang disebut silogisme (syllogism). Namun, kemudian muncul istilah yang juga popular yaitu entimem (entymeme).
Silogisme (Bitzer,1995; Kim dan Kunningham, 2003) adalah sekelompok proporsi yang berhubungan satu sama lain dan menarik sebuah kesimpulan dari premis-premis mayor dan minor. Silogisme sebenarnya merupakan sebuah argument deduktif yang merupakan sekelompok pernyataan (premis) yang menuntun pada sekelompok pernyataan lainnya (kesimpulan).
Entimem (Lloyd Bitzer, 1959) adalah silogisme yang didasarkan pada kemungkinan (probability), tanda (sign) dan contoh (example), dan berfungsi sebagai persuasi retoris. Kemungkinan adalah pernyataan-pernyataan yang secara umum benar tetapi masih membutuhkan pembuktian tambahan. Tanda adalah pernyataan yang menjelaskan alas an bagi sebuah fakta. Contoh adalah pernyataan-pernyataan baik yang faktual maupun yang diciptakan oleh pembicara. Entimem dalam hal ini memungkinkan khalayak untuk mendeduksi kesimpulan dari premis-premis yang atau dari pengalaman mereka sendiri. James McBurney (1994) mengingatkan bahwa entimem merupakan dasar dari semua wacana persuasive. Karenanya entimem juga berhubungan dengan ethos dan pathos. Larry Anhart (1981), percaya akan adanya kesalingterhubungan antara entimem dan bentuk-bentuk bukti ketika ia menyimpulkan bahwa kekuatan persuasive entimem terletak didalam kemampuannya untuk menjadi logis, etis dan patheis: “entimem dapat digunakan tidak hanya untuk membangun sebuah kesimpulan sebagai kebenaran yang mungkin tetapi juga untuk mengubah emosi para pendengar atau untuk membangun rasa percaya mereka akan karaketer dari pembicara”.
Silogisme dan entimem secara struktur sama. Akan tetapi, silogisme berhubungan dengan kepastian sedangkan entimem berhubungan dengan kemungkinan.

Kanon Retorika
Kanon merupakan tuntunan atau prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh pembicara agar pidato persuasive dapat menjadi efektif, yaitu:
1. Penemuan (invention), didefinisikan sebagai konstruksi atau penyusunan dari suatu argument yang relevan dengan tujuan dari suatu pidato. Dalam hal ini perlu adanya integrasi cara berfikir dengan argumen dalam pidato. Oleh karena itu, dengan menggunakan logika dan bukti dalam pidato dapat membuat sebuah pidato menjadi lebih kuat dan persuasive. Hal yan membantu penemuan adalah topic. Topik (topic) adalah bantuan terhadap yang merujuk pada argument yang digunakan oleh pembicara. Para pembicara juga bergantung pada civic space atau metafora yang menyatakan bahwa pembicara memiliki “lokasi-lokasi” dimana terdapat kesempatan untuk membujuk orang lain.
2. Pengaturan (arrangement), berhubungan dengan kemampuan pembicara untuk mengorganisasikan pidatonya. Pidato secara umum harus mengikuti pendekatan yang terdiri atas tiga hal: pengantar (introduction), batang tubuh (body), dan kesimpulan (conclusion). Pengantar merupakan bagian dari strategi organisasi dalam suatu pidato yang cukup menarik perhatian khalayak, menunjukkan hubungan topic dengan khalayak, dan memberikan bahasan singkat mengenai tujuan pembicara. Batang tubuh merupakan bagian dari strategi organisasi dari pidato yang mencakup argument, contoh dan detail penting untuk menyampaikan suatu pemikiran. Kesimpulan atau epilog merupakan bagian dari strategi organisasi dalam pidato yang ditujukan untuk merangkum poin-poin penting yang telah disampaikan pembicara dan untuk menggugah emosi di dalam khalayak.
3. Gaya (style), merupakan kanon retorika yang mencakup penggunaan bahasa untuk menyampaikan ide-ide didalam sebuah pidato. Dalam penggunaan bahasa harus menghindari glos (kata-kata yang sudah kuno dalam pidato), akan tetapi lebih dianjurkan menggunakan metafora (majas yang membantu untuk membuat hal yang tidak jelas menjadi lebih mudah dipahami). Penggunaan gaya memastikan bahwa suatu pidato dapat diingat dan bahwa ide-ide dari pembicara diperjelas.
4. Penyampaian (delivery), adalah kanon retorika yang merujuk pada presentasi nonverbal dari ide-ide pembicara. Penyampaian biasanya mencakup beberapa perilaku seperti kontak mata, tanda vocal, ejaan, kejelasan pengucapan, dialek, gerak tubuh, dan penampilan fisik. Penyampaian yang efektif mendukung kata-kata pembicara dan membantu mengurangi ketegangan pembicara.
5. Ingatan (memory) adalah kanon retorika yang merujuk pada usaha-usaha pembicara untuk menyimpan informasi untuk sebuah pidato. Dengan ingatan, seseorang pembicara dapat mengetahui apa saja yang akan dikatakan dan kapan mengatakannya, meredakan ketegangan pembicara dan memungkinkan pembicara untuk merespons hal-hal yang tidak terduga.

Jenis-jenis Retorika
1. Retorika forensic (forensic rhetoric), berkaitan dengan keadaan dimana pembicara mendorong timbulnya rasa bersalah atau tidak bersalah dari khalayak. Pidato forensic atau juga disebut pidato yudisial biasanya ditemui dalam kerangka hukum. Retorika forensic berorientasi pada masa waktu lampau.
2. Retorika epideiktik (epideictic rhetoric), adalah jenis retorika yang berkaitan dengan wacana yang berhubungan dengan pujian atau tuduhan. Pidato epideiktik sering disebut juga pidato seremonial. Pidato jenis ini disampaikan kepada publik dengan tujuan untuk memuji, menghormati, menyalahkan dan mempermalukan. Pidato jenis ini berfokus pada isu-isu sosial yang ada pada masa waktu sekarang.
3. Retorika deliberative (deliberative rhetoric), adalah jenis retorika yang menentukan tindakan yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan oleh khalayak. Pidato ini sering disebut juga dengan pidato politis. Pidato deliberative berorientasi pada masa waktu yang akan datang.

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Teori Komunikasi : Manajemen Privasi Komunikasi (Sandra Petronio)

Teori ini membantu kita untuk memilah dan menjelaskan kompleksitas proses negosiasi antara privasi dan keterbukaan. Pembukaan di dalam hubungan membutuhkan pengelolaan batasan publik dan privat. Batasan-batasan ini ada diantara perasaan yang ingin diutarakan oleh seseorang dan perasaan yang ingin disimpan. Pembukaan di dalam perkembangan hubungan lebih dari sekedar mengutarakan informasi privat kepada orang lain. Dibutuhkan negosiasi dan koordinasi akan batasan. Keputusan mengenai pembukaan harus dimonitor secara intensif.

Evolusi Teori Manajemen Privasi Komunikasi
Para peneliti (Petronio dan Martin, 1986; Petronio, Martin dan Littlefield, 1984) tertarik akan criteria pembentukan aturan dalam system manajemen aturan dalam system manajemen aturan bagi pembukaan. Mereka mengamati bahwa pria dan wanita memiliki kriteria yang berbeda untuk menilai kapan harus terbuka dan kapan harus diam. Pemikiran akan perbedaan gender dan konsep keterbukaan yang diatur oleh aturan sekarang merupakan bagian dari teori manajemen privasi komnikasi.
Pada awalnya teori ini memiliki batasan yang lebih sempit yaitu sebagai mikroteori (teori dengan batasan yang terbatas), batasannya hanya samapai pada manajemen privasi pada pasangan yang sudah menikah. Sekarang, sudah lebih luas menjadi makroteori (teori dengan batasan yang luas), batasannya melingkupi berbagai macam hubungan interpersonal yang luas, termasuk kelompokm dan organisasi.

Asumsi Dasar Teori Manajemen Privasi Komunikasi
1. Informasi privat, merujuk pada cara tradisional untuk berfikir mengenai pembukaan; ini merupakan pengungkapan informasi privat. Namun, Petronio (2002) melihat bahwa berfokus pada isi dari pembukaan memungkinkan kita untuk menguraikan konsep-konsep mengenai privasi dan keintiman dan mempelajari bagaimana mereka salaing berhubungan. Keintiman adalah perasaan atau keadaan mengetahui seseorang secara mendalam dalam cara-cara fisik, psikologi, emosional, dan perilaku karena orang ini penting dalam kehidupan seseorang. Pembicaraan pribadi, sebaliknya, tertarik dengan proses bercerita dan merefleksikan isi dari informasi privat mengenai orang lain dari kita.
2. Batasan privat, menjelaskan bahwa terdapat garis antara bersikap publik dan bersikap privat. Pada satu sisi batasan ini, orang menyimpan informasi privat untuk diri mereka sendiri (Petronio, Giles, Gallois dan Ellmers, 1998); dan pada sisi lain, orang membuka beberapa informasi privat kepada orang lain di dalam relasi sosial dengan mereka. Ketika informasi privat dibagikan, batasan sekelilingnya disebut batasan kolektif, dan ketika informasi privat tersebut tetap disimpan dan tidak buka, maka batasnnya disebut batasan personal.
3. Kontrol dan kepemilikan, orang merasa memiliki informasi privat mengenai diri mereka sendiri. Sebagai pemilik informasi, mereka percaya bahwa mereka harus ada dalam proporsi untuk mengontrol siapa saja yang boleh mengakses informasi privat tersebut.
4. System manajemen berdasarkan aturan, system ini adalah kerangka untuk memahami keputusan yang dibuat orang mengenai informasi privat. System ini memungkinkan pengelolaan pada level individual dan kolektif serta merupakan pengaturan rumit yang terdiri dari tiga proses: karakteristik aturan privasi, koordinasi batasan, dan turbulensi batasan.
5. Dialektika manajemen, dialektika manajemen privasi berfokus pada ketegangan-ketegangan antara kainginan untuk mengungkapkan informasi privat dan keinginan untuk meutupinya.

Proses Manajemen Aturan Privasi
1. Karaktersitik aturan pribadi. Merupakan salah satu proses di dalam system manajemen aturan privasi yang mendeskripsikan sifat dasar dari aturan privasi. Ada dua faktor utama yaitu:
• Pengembangan aturan, dituntun oleh criteria-kriteria keputusan orang untuk mengungkapkan atau menutupi informasi privat. Teori ini menyatakan bahwa lima criteria keputusan digunakan untuk mengembangkan aturan-aturan privasi; kriteria berdasarkan budaya, kriteria berdasrkan gender, kriteria motivasional, kriteria kontekstual, dan kriteria rasio resiko-keuntungan. Kelima kriteria keputusan ini merupakan salah satu elemen dari karakteristik aturan privasi.
• Atribut aturan privasi, atribut adalah karakteristik aturan privasi yang mendeskripsikian bagaimana orang mendapatkan aturan serta properti-properti aturan. Secara umum, teori ini menyatakan bahwa orang mempelajari aturan melalui proses sosialisasi atau melalui negosiasi dengan orang lain untuk menciptakan aturan baru.
2. Koordinasi batasan, merujuk pada bagaimana kita mengelola informasi yang dimiliki bersama. Petronio (2002) mengamati bahwa orang mengatur informasi privat melalui aturan-aturan yang mengurangi pertalian batsan, hak kepemilikan batasan dan peremeabilitas batsan.
• Pertalian batasan, merujuk pada hubungan yang membentuk aliansi batasan antar individu.
• Kepemilikan batasan, merujuk pada hak-hak dan keistimewaan yang diberikan kepada pemilik pendamping (co-owner) dari sebuah informasi privat.
• Permeabilitas batasan, merujuk pada severapa banyak informasididapat melalui batasan yang ada. Ketika akses terhadap informasi privat ditutup, batasannya disebut batasan tebal, sedangkan ketika aksesnya terbuka, batasnnya disebut sebagai batsan tipis (petronio, 2002).
3. Turbulensi batasan, hal ini muncul ketika aturan-aturan koordinasi batasan tidak jelas atau ketika harapan orang untuk manajemen privasi berkonflik antara satu dengan lainnya. Aturan batasan tidak selalu merupakan system yang berjalan dengan lancar, dan orang-orang yang terlibat dapat mengalami benturan yang disebut Petronio sebagai turbulensi. Turbulensi batasan dapat terjadi karena beberapa orang mengundang orang lain kedalam batasan privasi mereka, mereka mengharapkan respons yang sesuai. Ketika harapan ini dilanggar, orang terluka dan menjalani turbulensi batasan. Hal ini sangat membingungkan karena batasan dalam keadaan terbuka tetapi orang yang satunya menolak untuk dilibatkan.

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Teori Komunikasi : Dialektika Relasional (Leslie Baxter dan Barbara Montgomery)

Teori dialektika relasional menggambarkan hidup hubungan sebagai kemajuan dan pergerakan yang konstan. Orang-orang yang terlibat di dalam hubungan terus merasakan dorongan dan tarikan dari keinginan-keinginan yang bertolak belakang di dalam sebuah bagian hidup berhubungan. Pada dasarnya, orang menginginkan baik/maupun (both/and) dan bukannya hanya/atau (either/or) ketika membicarakan dua tujuan yang berlawanan. Ketika orang berkomunikasi di dalam hubungan mereka, mereka berusaha untuk mendamaikan keinginan-keinginan yang saling bertolak belakang ini, tetapi mereka tidak pernah menghapuskan kebutuhan mereka akan kedua bagian yang saling bertolak belakang ini.

Asumsi dalam Teori Dialektika Relasional
1. Hubungan tidak bersifat linier. Asumsi ini berpendapat hubungan manusia terdiri atas fluktuasi yang terjadi antara keinginan0keinginan yang kontradiktif.
2. Hidup berhubungan ditandai dengan adanya perubahan. Proses atau perubahan suatu hubungan merujuk pada pergerakan kuantitatif dan kulaitatif sejalan dengan waktu dan kontraksi-kontraksi yang terjadi, di seputar mana suatu hubungan dikelola (Baxter dan Montgomery, 1996).
3. Kontradiksi merupakan fakta fundamental dalam hidup berhubungan. Kontradiksi atau ketegangan terjadi antara dua hal yang berlawanan tidak pernah hilang dan tidak pernah berhenti menciptakan ketegangan.
4. Komunikasi sangat penting dalam mengelola dan menegosiasikan kontradiksi-kontradiksi dalam hubungan. Dalam perspektif dialektika relasional, actor-aktor sosial memberikan kahidupan melalui praktek-praktek komunikasi mereka kepada kontradiksi-kontradiksi yang mengelola hubungan mereka.

Elemen Dialektika: Membangun Ketegangan
Elemen-elemen dasar dalam perspektif dialektis, yaitu:
TOTALITAS (totality), mengakui adanya saling ketergantungan antara orang-orang dalam sebuah hubungan.
KONTRADIKSI (contradiction), merujuk pada oposisi – dua elemen yang bertentangan.
PERGERAKAN (motion), merujuk pada sifat berproses dan hubungan dan perubahan yang terjadi pada hubungan itu seiring dengan berjalannya waktu.
PRAKSIS (praxis), merujuk pada kapasitas manusia sebagai pembuat pilihan.

Dialektika Relasi Dasar
Dielektika interaksi (interctional dialectics), diantaranya:
1. Otonomi dan keterikatan (autonomy and connections), merujuk pada sebuah ketegangan hubungan yang penting yang menunjukkan keinginan-keinginan kita yang saling berkonflik untuk menjadi dekat maupun jauh.
2. Keterbukaan dan perlindungan (openness and protection), merujuk pada ketegangan dalam berhubungan yang penting yang menunjukkan keinginan-keinginan kita yang saling berkonflik untuk mengatakan rahasia kita dan untuk menyimpannya.
3. Hal yang baru dan hal yang dapat diprediksi (novelty and predictability), merujuk pada ketegangan dalam berhubungan yang penting yang menunjukkan keinginan-keinginan kita yang saling berkonflik untuk memiliki stabilitas dan perubahan.

Dialektika kontekstual (contextual dielectics), diantaranya:
1. Dialektika publik dan privat (publik and private dialectics), merujuk pada ketegangan-ketegangan antara hubungan privat dan kehidupan publik.
2. Dialektika yang nyata dan real (real and ideal dialectcs), merujuk pada ketegangan-ketegangan yang muncul dari perbedaan antara hubungan yang dianggap ideal dengan hubngan yang dijalani.

Melampaui Dialektika Dasar
Ketegangan dialektika dasar yang telah kita bawa mengkarakterisasi banyak hubungan interpersonal, tetapi badan peneliti yang berkembang mulai menemukan ketegangan-ketegangan tambahan dan pertanyaan apakah otonomi-keterikatan, keterbukaan-perlindungan, hal yang baru-hal yang dapat diprediksi menyusupi semua hubungan dalam semua konteks (Braithwaite dan Baxter, 1995).
Respons terhadap Dialektika
Walaupun ketegangan dialektika merupakan hal yang berlangsung terus-menerus, orang melakukan usaha untuk mengelola hal tersebut. Beberapa penelitian (Jameson, 2004), mengamati kesopanan sebagai metode umum untuk mengelola ketegangan dialektis. Baxter (1988) mengidentifikasi empat strategi spesifik untuk tujuan ini, yaitu:
1. Pergantian bersiklus (cyclic alternation), adalah respons untuk menghadapi ketegangan dialektis yang merujuk pada perubahan sejalan dengan waktu.
2. Segmentasi (segmentation), adalah respons untuk menghadapi ketegangan dialektis yang merujuk pada perubahan akibat konteks.
3. Seleksi (selection), adalah respons untuk menghadapi ketegangan dilektis yang merujuk pada pemberian prioritas pada oposisi-oposisi yang ada.
4. Integrasi (integration), adalah respons untuk menghadapi ketegangan dialektis yang merujuk pada membuat sintesis oposisi, hal ini terdiri atas tiga strategi, yaitu:
• Membingkai ulang (reframing), merujuk pada mentransformasi dialektika yang ada dengan cara tertentu sehingga dialektika itu seperti tidak memiliki oposisi.
• Menetralisasi (neutralizing), merujuk pada substrategi dari integrasi; kompromi tehadap dua oposisi.
• Mendiskualifikasi (disqualifying), merujuk pada penetralan dialektika dengan memberikan penetralan dialektika dengan memberikan pengecualian pada beberapa isu dari pola umum

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008




Teori Komunikasi : Pertukaran Sosial (John Thibaut dan Harold Kelley)

Teori pertukaran sosial didasarkan pad aide bahwa prang memandang hubungan mereka dalam konteks ekonomi mereka menghitung pengorbanan dan membandingkannya dengan penghargaan yang didapatkan dengan meneruskan hubungan itu. Pengorbanan (cost) adalah elemen dari sebuah hubungan yang memiliki nilai negatif bagi seseorang. Sedangkan penghargaan (rewards) adalh elemen-elemen dalam sebuah hubungan yang memiliki nilai positif.
Para teoritikus pertukaran sosial berpendapat bhawa semua orang menilai hubungan mereka dengan melihat pengorbanan dan penghargaan. Sudut pandang pertukaran sosial berpendapat bahwa orang menghitung nilai keseluruhan dari sebuah hubungan dengan mengurangkan pengorbanannya dari penghargaan yang diterima (Monge dan Contractor, 2003). Hubungan yang positif adalah hubungan di mana nilainya merupakan angka positif; penghargaan lebih besar daripada pengorbanan. Hubungan di mana nilainya adalah angka negatif (pengorbanan melebihi penghargaan) cenderung negatif untuk para partisipasinya. Teori pertukaran sosial bahkan melangkah lebih jauh dengan memprediksikan bahwa nilai (worth) dari sebuah hubungan mempengaruhi hasil akhir (outcome) atau apakah orang akan meneruskan suatu hubungan atau mengakhirinya. Hubungan yang positif bisanya dapat bertahan, sedangkan hubungan yang negatif mungkin akan berakhir.

Asumsi Teori Pertukaran Sosial
Asumsi pertukaran sosial mengenai sifat dasar manusia, yaitu:
1. Manusia mencari penghargaan dan menghindari hubungan. Pendekatan ini berasumsi bhawa perilaku orang dimotivasi oleh suatu mekanisme dorongan internal. Ketika orang merasakan dorongan ini, mereka termotivasi untuk menguranginya, dan proses pelaksanaanya merupakan hal yang menyenangkan.
2. Manusia adalah makhluk rasional. Teori ini didasrkan pada pemikiran bahwa didalam batasan-batasan informasi yang tersedia untuknya, manusia akan menghitung pengorbanan dan penghargaan dari sebuah situasi tertentu dan ini akan menentukan perilakunya.
3. Standar yang digunakan manusia untuk mengevaluasi pengorbanan dan penghargaan bervariasi seiring berjalannya waktu dari satu orang ke orang lainnya. Teori menunjukkan bahwa teori ini harus mempertimbangkan adanya keanekaragaman. Tidak ada satu standar yang dapat diterapkan pada semua orang untuk menentukan apa pengorbanan dan apa penghargaan itu.

Asumsi pertukaran sosial mengenai sifat dasar suatu hubungan, yaitu:
1. Hubungan memiliki sifat saling ketergantungan. Ketika seseorang patisipan dalam sebuah hubungan mengambil tindakan, baik partisipan yang satu maupun hubungan mereka secara keseluruhan akan terkena akibat.
2. Kehidupan berhubungan adalah sebuah proses. Dengan pernyataan ini, para peneliti mengakui pentingnya waktu dan perubahan dalam kehidupan suatu hubungan. Secara khusus, waktu mempengaruhi pertukaran karena pengalaman-pengalaman masa lalu menuntun penilaian mengenai penghargaan dan pengorbanan, dan penilaian ini memengaruhi pertukaran-pertukaran selanjutnya.

Evaluasi dari Sebuah Hubungan: Mengapa Kita Bertahan atau Pergi
Salah satu bagian yang paling penting dari teori ini adalah penjelasan mengenai bagaimana orang mengevaluasi hubungan mereka sehubungan dengan mereka akan tetap tinggal di dalam hubungan itu atau meninggalkannya. Evaluasi ini didasrkan pada dua tipe perbandingan; level perbandingan (standar bagi apa yang dianggap seseorang harus ia dapatkan dalam sebuah hubungan) dan level perbandingan alternative (bagaimana orang mengevaluasi suatu hubungan berdasarkan alternatif-alternatif apa yang mereka memiliki dari sebuah hubungan).
Level perbandingan bervariasi diantara individu-individu karena bersifat subjektif. Individu mendasarkan level perbandingan mereka dengan membandingkannya dengan pengalaman di masa lalu. Karena memiliki pengalaman masa lalu yang berbeda pada masing-masing individu dalam jenis yang sama, manusia membangun level perbandingan yang berbeda. Manusia akan bertahan pada hubungan yang dapat memberikan kepuasan (penghargaan lebih besar daripada pengorbanan). Akan tetapi terkadang ada beberapa orang yang meninggalkan hubungan yang memberikan kepuasan dan memilih bertahan pada hubungan yang tidak memuaskan. Hal ini dapat dijelaskan dengan level perbandingan alternative. Hal ini merujuk pada level terendah dari penghargaan dari suatu hubungan yang dapat diterima oleh seseorang saat dihadapkan pada penghargaan yang ada dari hubungan alternative atau sendirian (Roloff, 1981). Dengan kata lain, level perbandingan alternative mengukur bagaimana orang mengevaluasi sebuah hubungan dibandingkan dengan alternative realistis dari hubungan tersebut. Level perbandingan alternative lebih menekankan pengukuran stabilitas hubungan daripada kepuasan dalam hubungan.

Pola Pertukaran: Teori Pertukaran Sosial dalam Praktik
Teori ini mengamati bagaimana orang menyesuaikan perilaku mereka dalam interaksi. Orang berinteraksi karena dituntut tujuan. Orang terlibat didalam urutan perilaku (behavioral sequence), atau serangkaian tindakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan mereka. Ketika orang-orang terlibat dalam urut-urutan perilaku ini mereka tergantung hingga batas tertentu pada pasangan mereka dalam hubungan tersebut.
Konsep saling ketergantungan memunculkan konsep kekuasaan (power) sebagai ketergantungan seseorang terhadap yang lain untuk mencapai hasil akhir. Ada dua jenis kekuasaan, yaitu: pengendalian nasib (fate control) adalah kemampuan untuk mempengarugi hasil akhir pasangan, dan pengendalian perilaku (behavioral control) adalah kekuatan untuk menyebabkan perubahan perilaku orang lain dengan merubah perilaku sendiri.
Orang-orang mengembangkan pola-pola perilaku dalam menghadapi perbedaan kekuasaan dan untuk mengatasi pengorbanan yang diasosiasikan dengan penggunaan kekuasaan. Pola-pola ini berupaya memaksimalkan penghargaan dan meminimalkan pengorbanan. Untuk mengilustrasikan pola yang dikembangkan dalam penetrasi sosial dapat menggunakan tiga matriks, yaitu: (1) matriks terkondisi, atau batasan pada pilihan-pilihan anda yang dikarenakan lingkungan dan/atau level keahlian anda. (2) matriks efektif, atau perubahan sikap yang dapat anda lakukan terhadap matriks terkondisi anda dengan mempelajari keahlian baru. (3) matriks disposisional, atau keyakinan yang anda miliki mengenai suatu hubungan. Thibaut dan Kelley berpendapat bahwa jika orang mengetahui jenis posisi yang dimiliki oleh seseorang (matriks disposisional) dan sifat dasar dari situasi dimana dia beroperasi (matriks terkondisi), maka orang akan tahu bagimana memprediksikan transformasi yang akan dilakukan orang itu (matriks efektif) untuk mempengaruhi pertukaran sosial.

Struktur Pertukaran
Pertukaran dapat terjadi dalam beberapa bentuk dalam matriks-matriks. Hal ini termasuk pertukaran langsung, pertukaran tegeneralisasi dan pertukaran produktif. Pertukaran langsung (direct exchange) adalah pertukaran dimana dua orang saling berbalas pengorabanan dan penghargaan. Pertukaran tergeneraisasi (generalized exchange) adalah pertukaran dimana timbale balik terjadi melibatkan jaringan sosial dan tidak terbatas pada dua individu. Pertukaran produktif (productive exchange) adalah pertukaran di mana kedua belah pihak mengalami pengorbanan dan mendapatkan keuntungan secara simultan.

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Teori Komunikasi : Penetrasi Sosial (Irwin Daltman dan Dalmas Taylor)

Teori penetrasi sosial adalah teori yang menggambarkan suatu pola pengembangan hubungan, sebuah proses yang diidentifikasi sebagai penetrasi sosial (merujuk pada sebuah proses ikatan hubungan dimana individu-individu bergerak dari komunikasi superficial menuju ke komunikasi yang lebih intim). Keintiman yang dimaksud lebih dari sekedar keintiman fisik, melainkan juga intelektual dan emosional, hingga pada batasan dimana pasangan melakukan aktifitas bersama. Proses penetrasi sosial mencakup perilaku verbal, perilaku nonverbal dan perilaku yang berorientasi pada lingkungan. Dalman dan Taylor (1973) percaya bahwa hubungan orang sangat bervariasi dalam penetrasi sosial mereka. Mereka mengatakan bahwa hubungan bersifat teratur adan dapat diduga dalam perkembangannya.

Asumsi-asumsi Teori Penetrasi Sosial
1. Hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim.
2. Secara umum, perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi.
3. Perkembangan hubungan mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan disolusi.
4. Pembukaan diri (self-disclosure) adalah inti dari perkembangan hubungan.

“Mengupas” Lapisan Hubungan: Analogi Bawang
Dalam hal ini sangat penting untuk membuka informasi mengenai diri sendiri yang tidak disadari oleh orang lain. Seperti analogi bawang, manusia memiliki lapisan-lapisan aspek dari kepribadiannya. Lapisan yang paling luar adalah citra publik (apa yang dilihat oleh orang lain). Jadi, seseorang akan membuka diri secara perlahan masing-masing lapisan kepribadian mereka. Terkadang, proses dimana keterbukaan orang lain akan mengarahkan orang lain untuk terbuka (resiprositas), sehingga dengan saling terbuka akan lebih memperdalam keintiman. Penetrasi sosial dapat dilihat dengan dua dimensi, yaitu dengan keluasan (jumlah topic yang didiskusikan dalam sebuah hubungan) dan kedalaman (tingkat keintimian yang menuntun diskusi mengenai suatu topik).

Pertukaran Sosial: Biaya dan Keuntungan dalam Berhubungan
Teori ini menyatakan bahwa pertukaran sosial melibatkan bantuan-bantuan yang menciptakan kewajiban di masa dating dan oleh karenanya membawa sebuah pengaruh mendasar dalam sebuah hubungan sosial (Blau, 1964). Hubungan dikonsepsikan sebagai bentuk penghargaan dan pengorbanan (Taylor dan Daltman, 1987). Dalam hal ini, perlu adanya keseimbangan antara pengalaman hubungan baik yang positif dan negatif (rasio penghargaan / pengorbanan).

Tahapan Proses Penetrasi Sosial
ORIENTASI: membuka sedikit demi sedikit. Tahap ini adalah tahap yang paling awal. Tahap ini terjadi pada tingkat publik; hanya sedikit mengenai diri kita yang terbuka untuk orang lain.
PERTUKARAN PENJAJAKAN AFEKTIF: munculnya diri. Tahap ini merupakan perluasan area publik dan terjadi ketika aspek-aspek dari kepribadian seorang individu akan muncul. Apa yang tadinya privat menjadi publik.
PERTUKARAN AFEKTIF: komitmen dan kenyamanan. Tahap ini termasuk interaksi yang lebih tanpa beban dan santai (Taylor dan Daltman, 1987) dimana komunikasi sering kali berjalan spontan dan individu membuat keputusan yang cepat, sering kali dengan sedikit memberikan perhatian untuk hubungan secara keseluruhan. Tahap ini menggambarkan komitmen lebih lanjut kepada individu lainnya; para interaktan merasa nyaman satu dengan yang lainnya.
PERTUKARAN STABIL: kejujuran total dan keintiman. Tahap ini berhubungan dengan pengungkapan pemikiran, perasaan dan perilaku secara terbuka yang mengakibatkan munculnya spontanitas dan keunikan hubungan yang tinggi. Pada tahap ini keintiman sangat tinggi dan akan merangsang kejujuran total karena masing-masing interaktan dapat melakukan prediksi secara akurat mengenai perilaku-perilaku pasangannya. Hal ini didasari oleh keintiman yang sangat tinggi tersebut.

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Teori Komunikasi : Pengurangan Ketidakpastian (Charles Berger dan Richard Calabrese)

Teori ini menekankan bahwa komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian diantara dua orang asing yang terlibat dalam pembicaraan satu sama lain untuk pertama kali. Ada dua tipe ketidakpastian, yaitu : ketidakpastian kognitif (tingkat ketidakpastian yang dihubungkan dengan keyakinan dan sikap yang kita dan orang lain anut) dan ketidakpastian perilaku (tingkat ketidakpastian yang berhubungan dengan batasan sampai mana perilaku dapat diprediksi dalam sebuah situasi tertentu).

Asumsi Teori Pengurangan Ketidakpastian
1. Orang menglami ketidakpastian dalam latar interpersonal.
2. Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stress secara kognitif.
3. Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah untuk megurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan predikitibilitas.
4. Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang terjadi melalui tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah fase awal, fase personal dan fase akhir.
5. Komunikasi interpersonal adalah alat utama untuk mengurangi ketidakpastian.
6. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang akan berubah seiring berjalannya waktu.
7. Sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan menggunakan cara seperti hukum.

Aksioma Teori Pegurangan Ketidakpastian
1. Dengan adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi pada permulaan fase awal, ketika jumlah komunikasi verbal antara dua orang asing meningkat, tingkat ketidakpastian untuk tiap partisipan dalam sebuah hubungan akan menurun. Jika ketidakpastian menurun, jumlah komunikasi verbal meningkat.
2. Ketika ekspresi afiliatif nonverbal meningkat, tingkat ketidakpastian menurun dalam situasi interaksi awal. Selain itu, penurunan tingkat ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan keekspresian afiliatif nonverbal.
3. Tingkat ketidakpastian yang tinggi menyebabkan meningkatnya perilaku pencarian informasi ketika tingkat ketidakpastian menurun, perilaku pencarian informasi juga menurun.
4. Tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam sebuah hubungan menyebabkan penurunan tingkat keintiman dari isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat keintiman yang tinggi.
5. Ketidakpastian yang tinggi menghasilkan tingkat resiprositas yang tinggi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat resiprositas yang rendah pula.
6. Kemiripan diantara orang akan mengurangi ketidakpastian, sementara ketidakpastian akan meningkatkan ketidakpastian.
7. Peningkatan tingkat ketidakpastian akan menghasilkan penurunan dalam kesukaan penurunan dalam ketidakpastian menghasilkan peningkatan dalam kesukaan.

Perluasan Teori pengurangan Ketidakpastian
Aksioma tambahan
1. Ketidakpastian berhubungan secara negatif dengan interaksi dalam jaringan sosial. Makin orang berinteraksi dengan teman dan keluarga dari mitra hubungan mereka, makin sedikit ketidakpastian yang mereka alami.
2. Terdapat hubungan kebalikan atau negatif antara ketidakpastian dan kepuasan komunikasi.

Kondisi Pendahulu
Ada tiga jenis kondisi pendahulu, yaitu: (1) ketika orang satunya mempunyai potensi untuk memberikan penghargaan atau hukuman, (2) ketika orang satunya berperilaku keblaikan dari yang diharapkan, dan (3) ketika seseorang mengharapkan interkasi selanjutnya dengan orang lain.

Strategi
Ada tiga jenis strategi yang digunakan untuk memperoleh informasi, yaitu : (1) strategi aktif; mengurangi ketidakpastian dengan cara lain selain kontak langsung, (2) strategi pasif; mengurangi ketidakpastian dengan pengamatan yang tidak mengganggu terhadap orang lainnya, dan (3) strategi interaktif; mengurangi ketidakpastian dengan terlibat dalam percakapan.

Hubungan yang Mapan: Melampaui Perjumpaan Awal
Tujuan dari teori ini adalah untuk mengurangi ketidakpastian. Sangat diharpakan dengan pengurangan ketidakpastian akan membuat hubungan menjadi mapan melebihi ketika awal perjumpaan. Dengan terus berupaya mengurangi ketidakpastian tersebut akan menciptakan hubungan yang lebih dan lebih mapan, sehingga dapat menghindari ketidakpastian hubungan.

Konteks
Teori pengurangan ketidakpastian diterapkan dalam konteks komunikasi interpersonal. Akan tetapi beberapa peneliti mencoba menerapkan konsep-konsep teori pengurangan ketidakpastian dalam konteks komunikasi antar budaya yang disebut dengan teori manajemen kecemasan ketidakpastian (Gudykunst, 1955).

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Teori Komunikasi : Pelanggaran Harapan (Judee Burgon)

Teori pelanggaran harapan berfokus pada mempelajari berbagai pesan dan pengaruh komunikasi nonverbal terhadap produksi pesan. Teori ini menjadi teori utama dalam mengidentifikasai pengaruh komunikasi nonverbal terhadap perilaku. Teori ini menyatakan setiap orang memiliki pengharapan perilaku nonverbal dari orang lain. Oleh karena itu, apabila perilaku nonverbal yang diterima tidak sesuai dengan yang diinginkan maka akan terjadi pelanggaran harapan.

Hubungan Ruang
Ruang yang dimaksud adalah ruang yang digunakan dalam sebuah percakapan. Setiap orang memiliki kebutuhan untuk berafiliasi dan ruang pribadi. Oleh karena itu, mereka dalam melakukan percakapan, mereka menjaga jarak dirinya dengan orang lain dengan menggunakan ruang. Seperti yang ditekankan dari teori ini, bahwa komunikasi nonverbal memiliki pengaruh terhadap produksi pesan, komunikasi nonverbal yang dimaksud adalah jarak yang dipilih seseorang terhadap orang lain.
Zona proksemik merupakan jarak yang dipilih seseorang terhadap orang lain dalam percakapan, diantaranya:
1. Jarak intim (0-18 inci), zona spasial yang sangat dekat. Dalam zona ini orang membicarakan hal yang sangat pribadi. Biasanya dengan orang terdekat atau pasangan.
2. Jarak personal (18 inci-4 kaki), zona spasial yang digunakan untuk keluarga dan teman.
3. Jarak sosial (4-12 kaki), zona yang digunakan untuk hubungan-hubungan formal seperti dengan rekan kerja.
4. Jarak publik (lebih dari 12 kaki), zona yang digunakan untuk diskusi yang sangat formal seperti dosen dengan mahasiswa.
Ada elemen tambahan yaitu kewilayahan yang juga harus diperhatikan. Kewilayahan yang dimaksud adalah kepemilikan seseorang akan sebuah area atau benda. Ada tiga jenis kewilayahan, yaitu : kewilayahan primer (menunjukkan kepemilikan eksklusif seorang terhadap sebuah area atau benda), kewilayahan sekunder (merupakan afiliasi seseorang dengan sebuah area atu benda) dan kewilayahn publik (menandai tempat-tempat terbuka untuk semua orang).

Asumsi Teori Pelanggaran Harapan
1. Harapan mendorong terjadinya interaksi antar manusia.
2. Harapan terhadap perilaku manusia dipelajari
3. Orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal.

Valensi Penghargaan Komunikator
Valensi adalah jumlah dari karakteristik-karakteristik positif dan negatif dari seseorang dan potensi bagi orang untuk memberikan penghargaan atau hukuman. Dalam hal ini yang perlu diingat tidak semua pelanggaran harapan dinilai sebagai sesuatu yang negatif, bahkan terkadang bias ditangkap sebagai sesuatu yang positif.

Rangsangan
Rangsangan adalah minat atau perhatian yang meningkat ketika penyimpangan harapan terjadi. Seseorang dapat terangsang secara kognitif maupun fisik. Rangsangan kognitif adalah kesiagaan atau orientasi terhadap pelanggaran. Sedangkan rangsangan fisik adalah perilaku-perilaku yang digunakan komunikator dalam sebuah interaksi.

Batas Ancaman
Begitu rangsangan timbul, ancaman akan timbul. Batas ancaman adalah jarak dimana orang yang berinteraksi mengalami ketidaknyamanan fisik dan fisiologis dengan kehadiran orang lain. Dalam kata lain, batas ancaman adalah toleransi bagi pelanggar jarak. Burgoon menyatakan “ketika jarak disamakan dengan ancaman, jarak yang lebih dekat dilihat sebagai lebih mengancam dari jarak yang lebih jauh lebih aman”.

Valensi Pelanggaran
Dalam teori ini, ditekankan bahwa ketika orang berbicara pada orang lain, mereka memiliki harapan. Ketika harapan dilanggar, banyak orang mengevaluasi pelanggaran tersebut berdasarkan sebuah valensi pelanggaran (penilaian positif atau negatif dari sebuah perilaku yang tidak terduga). Valensi pelanggaran berbeda dengan valensi penghargaan komunikator. Valensi pelanggaran lebih berfokus pada penyimpangan itu sendiri. Valensi pelanggaran melibatkan pemahaman suatu pelanggaran melalui interpretasi dan evaluasi (Burgoon dan Hale, 1988). Singkatnya, para komunikator berusaha untuk menginterpretasikan makna dari sebuah pelanggaran dan memutuskan apakah mereka menyukainya atau tidak. Sedangkan apabila pelanggaran tersebut bersifat ambigu atau tidak kentara secara jelas maka lebih baik menggunakan valensi penghargaan komunikator dalam memandang pelanggaran tersebut.

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Teori Komunikasi : Disonansi Kognitif (Leon Festinger)

Fiske dan Faylor menyatakan bahwa pendekatan mengenai sikap yang paling berpengaruh diturunkan dari teori konsistensi kognitif. Teori konsistensi secara umum berpendapat bahwa suatu pikiran beroperasi seperti sebuah penengah antara rangsangan dan respons. Teori ini menyatakan bahwa ketika orang menerima informasi, pikiran mereka mengaturnya menjadi sebuah pola dengan rangsangan lainnya yang telah diterima sebelumnya. Jika rangsangan baru tidak pas dengan pola yang ada, atau tidak konsisten, orang tersebut kemudian merasakan ketidaknyamanan. Leon Festinger menamakan ketidakseimbangan perasaan dengan disonansi kognitif. Jadi, keadaan disonansi kognitif adalah keadaan ketidaknyamanan psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk mencapai konsonansi (Roger Brown, 1965). Hubungan konsonan ada antara dua elemen yang berada pada posisi seimbang satu sama lain. Sedangkan hubungan disonan ada antara dua elemen dalam ketidakseimbangan dengan lainnya. Hubungan yang tidak relevan ada ketika elemen-elemen tidak mengimplikasikan apapun mengenai satu sama lain. Proses disonansi kognitif: sikap pemikiran, dari perilaku yang tidak konsisten berakibat pada mulainya disonansi yang kemudian berakibat pada rangsangan yang tidak menyenangkan dan kemudian dikurangi dengan perubahan yang menghilangkan inkonsistensi. Pengalaman disonansi – keyakinan-keyakinan dan tindakan yang tidak sesuai aau dua keyakinan yang tidak cocok – adalah suatu yang tidak menyenangkan, dan orang mempunyai motivasi tinggi untuk menghindari hal tersebut. Dalam usaha mereka untuk menghindari perasaan disonansi, orang akan tidak mengindahkan pandangan yang berlawanan dengan pandangannya, mengubah keyakinan mereka agar sesuai dengan tindakan mereka (atau sebaliknya) dan/atau mencari hal yang dapat meyakinkan mereka kembali setelah membuat sebuah keputusan sulit.

Asumsi-asumsi Teori Disonansi Kognitif
1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya.
2. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologis.
3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur.
4. Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi.

Konsep dan Proses Disonansi Kognitif
Untuk mengetahui seberapa banyak ketidaknyamanan (disonansi) maka digunakan konsep tingkat disonansi (merujuk jumlah kuantitatif disonansi yang dialami seseorang). Tingkat disonansi menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi disonansi. Ada tiga faktor yang mempengaruhi tingkat disonansi, yaitu: kepentingan (merujuk pada seberapa signifikan masalah itu), rasio disonansi (merujuk pada jumlah kognisi konsonan berbanding dengan yang disonan) dan rasionalitas (merujuk pada alas an yang dikemukakan untuk menjelaskan konsistensi). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi disonansi, yaitu: mengurangi pentingnya keyakinan disonan kita, menambahkan keyakinan yang konsonan atau menghapuskan disonansi dengan cara tertentu.
Teori disonansi kognitif memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perceptual adalah dasar dari penghindaran ini. Ada beberapa stategi yang dapat digunakan, yaitu: terpaan selektif (mencari informasi yang konsisten yang belum ada, membantu mengurangi disonansi), perhatian selektif (melihat informasi secara konsisten begitu konsistensi itu ada), interpretasi selektif (melibatkan penginterpretasian informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten), dan retensi selektif (mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan pada informasi yang tidak konsisten).
Festinger (1975) berpendapat “jika seseorang berkeinginan untuk memperoleh perubahan pribadi selain persetujuan publik, cara terbaik untuk melakukannya ini adalah menawarkan cukup penghargaan atau hukuman untuk memperoleh persetujuan (justifikasi minimal). Festinger dan Carlsmith berpendapat bahwa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinan orang demi penghargaan yang minimal menimbulkan disonansi lebih banyak dibandingkan dengan ketika hal ini dilakukan dengan penghargaan yang lebih besar. Jadi, justifikasi minimal menghasilkan lebih banyak disonansi kognitif dan mensyaratkan lebih banyak perubahan-perubahan untuk menguranginya dibandingkan justifikasi yang lebih besar.

Teori Disonansi Kognitif dan Persuasi
Teori disonansi kognitif dalam hal ini difokuskan dalam mengkaji setiap orang dalam rangka pengambilan keputusan. Dengan banyaknya disonansi yang muncul maka seseorang akan lebih mudah dipengaruhi dalam hal pengambilan keputusan. Teori ini dikembangkan sehingga sering dipakai sebagai strategi komunikasi persuasi.

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2008

Teori Komunikasi : Manajemen Makna Terkoordinasi (W Barnett Pearce dan Vernon Cronen)

Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Dalam hal ini, teori manajmemen makna terkoordinasi menggambarkan manusia sebagai actor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai (Cronen, Pearce & Harris; 1982)

Seluruh Dunia adalah Sebuah Panggung
Hidup ini diibaratkan sebagai “teater tanpa sutradara”. Manusia di dalam teater (hidup) tersebut berperan sebagai aktor-aktor yang mengikuti semacam perilaku dramatis. Drama yang dimainkan adalah realitas hidup mereka. Sehingga, manusia dalam hidupnya secara tidak sadar seakan-akan menyutradarai hidupnya sendiri bagai sebuah teater disamping mereka menjadi aktor utama dalam hidupnya tersebut. Dan kemudian mereka memaknai drama yang dimainkan tersebut dengan mengkoordinasikan makna yang dimiliki masing-masing individu menjadi makana yang sama merujuk pada naskah drama yang dimainkan.

Asumsi-asumsi Manajemen Makna Terkoordinasi
1. Manusia hidup dalam komunikasi. Asumsi ini maksudnya komunikasi adalah, dan akan selalu, menjadi lebih penting bagi manusia seharusnya. Hal ini didasari bahwa situasi sosial diciptakan melalui interaksi manusia. Dari interaksi tersebut akan memunculkan percakapan-percakapan untuk menciptakan realitas. Jadi, asumsi ini menolak jenis komunikasi tradisional (komunikasi linier).
2. Manusia saling menciptakan realitas sosial. Asumsi ini menjelaskan bahwa dasar yang dipelajari dari teori ini adalah percakapan. Dengan percakapan manuasia akan saling menciptakan realitas sosial dalam percakapaan tersebut (konstruksionisme sosial). Ketika dua orang terlibat dalam pembicaraan, masing-masing telah memilki banyak sekali pengalaman bercakap-cakap di masa lalu dari realitas-realitas sosial sebelumnya. Kemudian yang terjadi sekarang, percakapan akan memunculkan realitas baru karena dua orang dating dengan sudut pandang yang berbeda. Melalui cara ini manusia saling menciptakan realitas sosial yang baru.
3. Transaksi informasi bergantung kepada makna pribadi dan interpersonal. Asumsi ini menekankan pengendalian percakapan. Dalam suatu percakapan sesorang pasti memiliki makna pribadi dalam menginterpretasikan percakapan yang dilakukannya. Dan kemudian makna pribadi ditransaksikan hingga para peserta percakapan menyepakati mengenai interpretasi satu sama lain hingga membentuk makna interpersonal.

Hierarki dari Makna yang Terorganisasi
Para teoritikus manajemen makna terkoordinasi mengemukakan enam elemen makna, yaitu:
1. Isi (content), merupakan langkah awal di mana data mentah dikonversikan menjadi makna.
2. Tindak tutur (speech act), merujuk pada tindakan-tindakan yang kita lakukan dengan cara berbicara termasuk memuji, menghina, berjanji, mengancam, menyatakan dan bertanya.
3. Episode (episode), merujuk pada rutinitas komunikasi memiliki awal, pertengahan dan akhir yang jelas.
4. Hubungan (relationship), dapat diartikan sebagai kontrak kesepakatan dan pengertian antara dua orang di mana terdapat tuntunan dalam berperilaku.
5. Naskah kehidupan (life scripts), merujuk pada kelompok-kelompok episode masa lalu atau masa kini yang menciptakan suatu system makna yang dapat dikelola bersama dengan orang lain.
6. Pola budaya (cultural pattern), merujuk pada gambaran mengenai dunia dan bagaimana berhubungan seseorang dengan hal tersebut.

Koordinasi Makna: Mengartikan Urutan
Koordinasi (coordination) ada ketika dua orang berusaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan dalam percakapan mereka. Hasil yang mungkin dalam perbincangan ada tiga, yaitu: mencapai koordinasi, tidak mencapai koordinasi, atau mencapai koordinasi pada tingkat tertentu (Philipsen, 1995). Dari ketiga hasil tersebut yang paling mungkin adalah mencapai koordinasi pada tingkat tertentu karena sulit untuk mencapai koordinasi yang sempurna dan menyeluruh.

Pengaruh Terhadap Proses Koordinasi
Koordinasi dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk moralitas dan ketersediaan sumber daya. Moralitas harus dianggap sebagai sesuatu yang lebih penting dan lebih tinggi. Hal ini didasari bahwa setiap orang membawa berbagai tingkat moral kedalam percakapan. Selain moralitas, koordinasi juga dipengaruhi sumberdaya (resources), mereka merujuk pada cerita, gambar, simbol, dan institusi yang digunakan orang untuk memaknai dunia mereka (Pearce, 1989)

Aturan dan Pola Berulang yang Tidak Diinginkan
Salah satu cara yang digunakan individu untuk mengelola dan mengkoordinasikan makna adalah melalui penggunaan aturan. Ada dua tipe aturan: pertama, aturan konstitutif yang merujuk pada bagaimana perilaku harus diinterpretasikan dalam suatu konteks. Aturan ini memberitahukan kita makna dari suatu perilaku tertentu. Sedangkan yang kedua, aturan regulative yang merujuk pada urutan yang dilakukan seseorang, dan menyampaikan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam sebuah percakapan. Aturan ini memberikan tuntunan kepada orang untuk berperilaku. Suatu ketika ada batasan antara aturan konstitutif dan regulatif selama digunakan dalam proses percakapan, apabila terjadi perseteruan akan timbul pola berulang yang tidak diinginkan (unwanted repetitive patterns), atau konflik yang berulang dan tidak diinginkan yang terjadi dalam sebuah hubungan.

Rangkaian Seimbang dan Rangkaian Tidak Seimbang
Sebelumnya kita telah mengetahui enam elemen makna yang apabila disusun dari level yang lelah tinggi ke level yang lebih rendah: pola budaya, naskah kehidupan, hubungan, episode, tindak tutur dan isi. Ketika rangkaian berjalan dengan konsisten melalui tindakan-tindakan yang ada dalam hierarki maka disebut rangkaian seimbang (charmed loop). Dan suatu ketika, beberapa episode dapat menjadi tidak konsisten dengan level-level yang lebih tinggi didalam hierarki yang ada maka hal tersebut dinamai rangkaian tidak seimbang (strange loop).

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Rabu, 04 Agustus 2010

Teori Komunikasi : Interaksionisme Simbolik (George Herbert Mead)

George Herbert Mead mengagumi kempampuan manusia untuk menggunakan simbol; dia menyatakan bahwa orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul didalam sebuah situasi tertentu. Simbol yang dimaksud adalah label arbitrer atau representasi dari fenomena. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi. Raph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksionisme simbolik adalah pada intinya sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lainnya, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, sebaliknya membentuk perilaku manusia. Dalam pernyataan ini, kita dapat melihat argument Mead mengenai saling ketergantungan antara individu dan masyarakat.

Sejarah Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik lahir pada dua universitas: Universitas Iowa dengan tokoh Manford Kuhn dan Universitas Chicago dengan tokoh George Herbert Mead. Kedua universitas ini mengembangkan dua metode yang berbeda. Herbert Blummer (Universitas Chicago) menyatakan bahwa studi mengenai manusia tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode yang sama seperti yang digunakan untuk mempelajari hal lainnya. Mahzab Chicago mendukung penggunaan studi kasus dan sejarah serta wawancara tidak terstruktur. Sedangkan aliran dari Universitas Iowa mengadopsi pendekatan kuantitatif dalam studinya. Mahzab Iowa beranggapan bahwa konsep interaksionisme simbolik dapat dioperasionalkan, dikuantifikasi, dan diuji, dalam hal ini dikembangkan sebuah tekni “kuesioner dua puluh pertanyaan sikap diri”.

Tema dan Asumsi Interaksionisme Simbolik
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia. Teori ini berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komuniksai karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif diantara orang-orang untuk menciptakan makna, bahkan tujuan dari teori ini adalah menciptakan makna yang sama. Asumsi-asumsinya:
• Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka. Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respons yang berkaitan dengan rangsangan tersebut.
• Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia. Mead menekankan dasar intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, menurut Mead, hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai symbol yang mereka pertukaran dalam interaksi.
• Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Blumer menyatakan bahwa proses interpretif ini memiliki dua langkah. (1) Para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna. (2) Melibatkan perilaku untuk memilih, mengecek dan melakukan transformasi makna di dalam konteks di mana mereka berada.
2. Pentingnya konsep diri. Tema kedua pada teori ini berfokus pada pentingnya konsep diri (self-concept), atau seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Asumsi-asumsinya:
• Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri; mereka belajar tentang diri mereka melalui interaksi.
• Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku. Pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenal diri mempengaruhi perilaku adalah sebuah prinsip penting pada interaksionisme simbolik. Mead berpendapat bahwa karena manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap.
3. Hubungan antara individu dan masyarakat. Tema ini berkaitan antara kebebasan individu dan batasan social. Dalam hal ini dicoba dijelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses social. Asumsi-asumsinya:
• Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial. Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma social membatasi perilaku manusia. Selain itu, budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap yang kita anggap penting dalam konsep diri.
• Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Asumsi ini menengahi posisi yang diambil oleh asumsi sebelumnya. Interaksionisme simbolik mempertanyakan pendangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individudapat memodifikasi situasi sosial. Dengan demikian para peserta dalam interaksi memodifikasi struktur dan tidak secara penuh dibatasi oleha hal tersebut. Dengan kata lain, manusia adalah pembuat pilihan.

Konsep Penting
PIKIRAN (mind), sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dan Mead percaya bahwa manusia harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Manusia tidak dapat berinteraksi dengan orang lain apabila belum mengenal bahasa. Bahasa itu sendiri tergantung pada simbol signifikan (significant symbol), atau simbol-simbol yang memunculkan makna yang sama bagi banyak orang. Dengan bahasa, manusia dapat mengembangkan pikiran menjadi pemikiran (thought) dan akhirnya menghasilkan pengambilan peran (role taking), atau kemampuan untuk secara simbolik menempatkan dirinya sendiri dalam diri khayalan orang lain.
DIRI (self), sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Bagi Mead, diri berkembang dari sebuah jenis pengambilan peran yang khusus – maksudnya, membayangkan bagaimana kita dilihat orang lain. Mead meminjam konsep Charles Cooley (1912), cermin diri (looking-glass-self), atau kemampuan kita untuk melihat diri kita sendiri dalam pantulan dan pandangan orang lain.
MASYARAKAT (society), sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat didalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan suka rela. Jadi, masyarakat menggambarkan keterhubungan beberapa perangkat perilaku yang terus disesuaikan oleh individu-individu. Masyarakat ada sebelum individu tetapi juga diciptakan dan dibentuk oleh individu, dengan melakukan tindakan sejalan dengan orang lainnya (Forte, 2004). Ada dua bagian penting masyarakat yang mempengaruhi pikiran dan diri, yaitu:
• Orang lain secara khusus (particular others), merujuk pada individu-individu dalam masyarakat yang signifikan bagi kita. Orang-orang ini biasanya adalah anggota keluarga, teman, dan kolega di tempat kerja serta supervisor. Kita melihat orang lain secara khusus tersebut untuk mendapatkan rasa penerimaan sosial dan rasa mengenai diri. Sering kali pengharapan dari beberapa particular others mengalami konflik dengan orang lainnya.
• Orang lain secara umum (generalized others), merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai keseluruhan. Hal ini diberikan oleh masyarakat kepada kita, dan “sikap dari orang lain secara umum adalah sikap dari keseluruhan komunitas” (Mead, 1934). Orang lain secara umum memberikan menyediakan informasi mengenai peranan, aturan, dan sikap yang dimiliki oleh komunitas. Orang lain secara umum juga memberikan kita perasaan mengenai bagaiman orang lain bereaksi kepada kita dan harapan sosial secara umum. Perasaan ini berpengaruh dalam mengembangkan kesadaran sosial. Orang lain secara umum dapat membantu dalam menengahi konflik yang dimunculkan oleh kelompok-kolompok orang lain secara khusus yang berkonflik.

Daftar Pustaka
West, Richard. Pengantar Teori Komunikasi : Teori dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika, 2008

Teori Komunikasi : Tradisi Komunikasi

TRADISI SOSIO-PSIKOLOGI
(Komunikasi sebagai pengaruh antar pribadi)
Tradisi sosio-psikologi merupakan contoh dari perspektif ilmiah atau objektif. Dalam tradisi ini, kebenaran komunikasi dapat ditemukan dengan dapat ditemukan dengan teliti – penelitian yang sistematis. Tradisi ini melihat hubungan sebab dan akibat dalam memprediksi berhasil tidaknya perilaku komunikasi. Carl Hovland dari Universitas Yale meletakkan dasar-dasar dari hal data empiris yang mengenai hubungan antara rangsangan komunikasi, kecenderungan audiens dan perubahan pemikiran dan untuk menyediakan sebuah kerangka awal untuk mendasari teori. Tradisi sosio-psikologi adalah jalan untuk menjawab pertanyaan “What can I do to get them change?”

Dalam kerangka “Who says what to whom and with what effect” dapat dibagi menjadi tiga sebab atau alasan dari variasi persuasif, yaitu :
Who – sumber dari pesan (keahlian, dapat dipercaya)
What – isi dari pesan (menarik dengan ketakutan, mengundang perbedaan pendapat)
Whom – karakteristik audiens (kepribadian, dapat dikira untuk dipengaruhi)
Efek utama yang diukur adalah perubahan pemikiran yang dinyatakan dalam bentuk skala sikap baik sebelum maupun sesudah menerima pesan. Dalam hal ini kredibilitas sumber amat sangat menarik perhatian. Ada dua jenis dari kredibilitas, yaitu keahlian (expertness) dan karakter (character). Keahlian dianggap lebih penting daripada karakter dalam mendorong perubahan pemikiran.

TRADISI SIBERNETIKA
(Komunikasi untuk memproses informasi)
Tradisi sibernetika memandang komunikasi sebagai mata rantai untuk menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dalam suatu sistem. Tradisi sibernetika mencari jawaban atas pertanyaan “How can we get the bugs out of this system?”

Ide komunikasi untuk memproses informasi dikuatkan oleh Claude Shannon dengan penelitiannya pada perusahaan Bell Telephone Company. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa informasi hilang pada setiap tahapan yang dilalui dalam proses penyampain pesan kepada penerima pesan. Sehingga pesan yang diterima berbeda dari apa yang dikirim pada awalnya. Bagi Shannon, informasi adalah sarana untuk mengurangi ketidakpastian. Tujuan dari teori informasi adalah untuk memksimalkan jumlah informasi yang ditampung oleh suatu sitem. Dalam hal ini, gangguan (noise) mengurangi jumlah kapasitas informasi yang dapat dimuat dalam suatu sistem. Shannon mendeskripsikan hubungan antara informasi, gangguan (noise) dan kapasitas sistem dengan persamaan sederhana, yaitu : kapasitas sistem = informasi + gangguan (noise).

TRADISI RETORIKA
(Komunikasi sebagai seni berbicara didepan umum)
Ada enam keistimewaan karakteristik yang berpengaruh pada tradisi komunikasi retorika, yaitu : (1) sebuah keyakinan yang membedakan manusia dengan hewan dalam kemampuan berbicara, (2) sebuah kepercayaan diri dalam berbicara didepan umum dalam sebuah forum demokrasi, (3) sebuah keadaan dimana seorang pembicara mencoba mempengaruhi audiens melalui pidato persuasif yang jelas, (4) pelatihan kecakapan berpidato adalah landasan dasar pendidikan kepemimpinan, (5) sebuah tekanan pada kekuasaan dan keindahan bahasa untuk merubah emosi orang dan menggerakkannya dalam aksi, dan (6) pidato persuasi adalah bidang wewenang dari laki-laki.

TRADISI SEMIOTIKA
(Komunikasi sebagai proses berbagi makna melalui tanda)
Semiotika adalah ilmu mempelajari tanda. Tanda adalah sesuatu yang dapat memberikan petunjuk atas sesuatu. Kata juga merupakan tanda, akan tetapi jenisnya spesial. Mereka disebut dengan simbol. Banyak teori dari tradisi semiotika yang mencoba menjelaskan dan mengurangi kesalahpahaman yang tercipta karena penggunaan simbol yang bermakna ambigu. Ambiguitas adalah keadaan yang tidak dapat dihindarkan dalam bahasa, dalam hal ini komunikator dapat terbawa dalam sebuah pembicaraan dalam suatu hal akan tetapi masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda akan suatu hal yang sedang dibicarakan tersebut. Tradisi ini memperhatikan bagaimana tanda memediasi makna dan bagaimana penggunaan tanda tersebut untuk menghindari kesalahpahaman, daripada bagaimana cara membuat tanda tersebut.

TRADISI SOSIO-KULTURAL
(Komunikasi adalah ciptaan realitas sosial)
Tradisi sosio-kultural berdasar pada premis orang berbicara, mereka membuat dan menghasilkan kebudayaan. Kebanyakan dari kita berasumsi bahwa kata adalah refleksi atas apa yang benar ada. Cara pandang kita sangat kuatdibentuk oleh bahasa (language) yang kita gunakan sejak balita.

Kita sudah mengetahui bahwa tradisi semiotika kebanyakan kata tidak memiliki kepentingan atau keterikatan logis dengan ide yang mereka representasikan. Para ahli bahasa dalam tradisi sosio-kultural menyatakan bahwa para pengguna bahasa mendiami dunia yang berbeda. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf dari University of Chicago adalah pelopor tradisi sosio-kultural. Dalam hipotesis penelitian mereka, linguistik adalah bagian dari struktur bentuk bahasa budaya yang berdasarkan apa yang orang pikirkan dan lakukan. Dunia nyata terlalu luas dan secara tidak sadar terbentuk pada bahasa kebiasaan (habits) dari kelompok. Teori linguistik ini berlawanan dengan asumsi bahwa semua bahasa itu sama dan kata hanya sarana netral untuk membawa makna. Bahasa sebenarnya adalah struktur dari persepsi kita akan realitas. Teori dalam tradisi ini mengklaim bahwa komunikasi adalah hasil produksi, memelihara, memperbaiki dan perubahan dari realitas. Dalam hal ini, tradisi sosio-kultural menawarkan membantu dalam menjembatani jurang pemisah budaya antara “kita” dan “mereka”.

TRADISI KRITIS
(Komunikasi sebagai cerminan tantangan atas percakapan yang tidak adil)
Tradisi kritis muncul di Frankfurt School Jerman, yang sangat terpengaruh dengan Karl marx dalam mengkritisi masyarakat. Dalam penelitian yang dilakukan Frankfurt School, dilakukan analisa pada ketidaksesuaian antara nilai-nilai kebebasan dalam masyarakat liberal dengan persamaan hak seorang pemimpin menyatakan dirinya dan memperhatikan ketidakadilan serta penyalahgunaan wewenang yang membuat nilai-nilai tersebut hanya menjadi isapan jempol belaka. Kritik ini sangat tidak mentolelir adanya pembicaraan negatif atau akhir yang pesimistis.

Teori-teori dalam tradisi kritis secara konsisten menentang tiga keistimewaan dari masyarakat sekarang, yaitu : (1) mengendalikan bahasa untuk mengabadikan ketidakseimbangan wewenang atau kekuasaan, (2) peran media dalam mengurangi kepekaan terhadap penindasan, dan (3) mengaburkan kepercayaan pada metode ilmiah dan penerimaan atas penemuan data empiris yang tanpa kritik.

TRADISI FENOMENOLOGI
(Komunikasi sebagai pengalaman diri dengan orang lain melalui percakapan)
Tradisi fenomenologi menekankan pada persepsi orang dan interpretasi setiap orang secara subjektif tentang pengalamannya. Para fenomenologist menganggap bahwa cerita pribadi setiap orang adalah lebih penting dan lebih berwenang daripada beberapa hipotesis penelitian atau aksioma komunikasi. Akan tetapi kemudian timbul masalah dimana tidak ada dua orang yang memiliki kisah hidup yang sama.

Seorang psikolog Carl Rogers mendeskripsikan tiga kebutuhan dan kondisi yang cukup bagi sesorang dan perubahan hubungan, yaitu : (1) kesesuaian atau kecocokan, adalah kecocokan atau kesesuaian anatara individu baik secara perasaan didalam dengan penampilan diluar, (2) memandang positif tanpa syarat, adalah sebuah sikap dalam menerima yang tidak tergantung pada perbuatan, dan (3) pengertian untuk berempati, adalah kecakapan sementara untuk mengesampingkan pandangan dan nilai dan memasuki dunia lain tanpa prasangka.

DAFTAR PUSTAKA
Em, Griffin. A First Look at Communication Theory 5th Editions. New York : McGraw Hill, 2003