Senin, 30 November 2009

Pengantar Ilmu Politik ( Pemilihan Umum )

Please Download via this link

Pengantar Ilmu Politik ( Konstitusi / Undang - Undang Dasar )

I.PENGERTIAN
Undang-undang dasar (UUD) dalam kehidupan sehari-hari sering kita ibaratkan sebuah naskah tertulis. Undang-undang dasar atau dalam bahasa Inggris sering disebut constitution bagi banyak Sarjana Ilmu Politik merupakan suatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan –peraturan, baik yang tertulis, maupun yang tidak, yang mengatur secara mengikat cara-cara pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Terjamahan kata constitution dengan kata UUD memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman, yang biasa menggunakan kata Grondwet (Grond= dasar ;wet= undang-undang), dan Grundgesetz (Grund= dasar ; gesetz=undang-undang), yang keduanya menunjuk pada naskah tertulis. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa dewasa ini hampir semua negara (kecuali Inggris) memiliki naskah tertulis sebagai UUD-nya.

Dalam kepustakaan Belanda (L.J.Van Apeldoorn) diadakan pembedaan antara pengertian UUD (Grondwet) dan UUD (Constitutie). Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa UUD adalah bagian tertulis dari suatu UUD, sedangkan UUD memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan tidak tertulis. Dengan kata lain, setiap UUD tertulis ada unsur “tidak tertulisnya”, sedangkan setiap UUD tidak tertulis ada unsur “tertulisnya”. Sehingga dalam penjelasan UUD 1945 dijelaskan bahwa “UUD suatu negara ialah sebagian dari hukum dasar negara itu.UUD ialah Hukum dasar yang tertulis, sedang disamping UUD itu berlaku juga hanya besar Hukum Dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis”.


II.SIFAT dan FUNGSI UNDANG-UNDANG DASAR
UUD merupakan suatu perangkat peraturan yang menentukan kekuasaan dan tanggung jawab dari berbagai alat kenegaraan. UUD juga menentukan batas-batas berbagai pusat kekusaan itu dan memaparkan hubungan-hubungan dintara mereka.

E.C.S Wade mendefinisikan UUD sebagai suatu naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintah suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.
Herman Finer mendefinisikan UUD sebagai riwayat suatu hubungan kekuasaan. Dalam hal ini UUD dapat dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, serta mengatur cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini melakukan kerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain.
Richard S.Kay berpendapat bahwa maksud diadakannya UUD adalah untuk meletakkan aturan-aturan yang pasti yang mempengaruhi perilaku manusia dan dengan demikian menjaga agar pemerintah tetap berjalan dengan baik.

Disamping UUD mempunyai status legal yang khusus, UUD juga merupakan ungkapan aspirasi, cita-cita, ideologi dan standar-standar moral yang dijunjunh tinggi oleh suatu bangsa.


III.KONSTITUSIONALISME
Sebelum UUD dirumuskan telah berkembang suatu konsep yang bernama Konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah bahwa pemerintah perlu dibatasi kekuasaannya (the limited state), agar penyelenggaraannya tidak bersifat sewenang-wenang. Karena UUD dianggap sebagai jaminan utama untuk melindungi warga dari perlakuan semena-mena maka timbul konsep the constitusional state dimana UUD dianggap sebagai institusi yang paling efektif untuk melindungi warganya melalui konsep Rule of Law atau Rechtsstaat.

Menurut Carl J.Friedrich, konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintahan merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalah gunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah.

Menurut Richard S.Kay, konstitusionalisme adalah pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule of law) dalam hubungan individu dengan pemerintah. Konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat memupuk rasa aman, karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah yang telah ditentukan lebih dahulu. Jadi, konsep rule of law dan rechtsstaat merupakan inti dari demokrasi konstitusional.

Menurut Andrew Heywood, konstitusionalisme adalah :
arti sempit, konstitusionalisme adalah penyelengaraan pemerintahan yang dibatasi oleh UUD. Dengan kata lain, konstitusionalisme ada apabila lembaga-lembaga pemerintahan dan proses politik dibatasi secara efektif oleh aturan-aturan konstitusionalisme.
arti luas, konstitusionalisme adalah perangkat nilai dan aspirasi politik yang mencerminkan adanya keinginan untuk melindungi kebebasan dengan melakukan pengawasan (checks) internal maupun eksternal terhadap kekuasaan pemerintah.
Jadi, konstitusionalisme merupakan bagian penting dari demokrasi konstitusional.


Mengapa hak-hak rakyat harus dilindungi ?
Walter F.Murphy berpendapat bahwa konstitusionalisme sangat menjujung tinggi kehormatan atau harga diri manusia sebagai prinsip utamanya. Oleh karena itu , agar kehormatannya terlindungi, manusia harus mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam politik, dan kekuasaan pemerintah harus dipagari dengan batas-batas yang bersifat substantif terhadap apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah, sekalipun andaikata pemerintah itu mencerminkan kemauan rakyat secara sempurna.

Gagasan konstitusionalisme telah timbul lebih dahulu sebelum UUD. Paham konstitusionalisme dalam arti bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya harus diperinci secara tegas. Oleh karena itu, pada tahun 1215 di Kerajaan Inggris muncul Magna Charta. Meskipun belum sempurna, Magna Charta di dunia Barat dipandang sebagai awal gagasan konstitualisme serta pengakuan terhadap kebebasan dan kemerdekaan rakyat.

Kemudian pada tahun 1679 muncul Hobeas Corpus Act yang merupakan penegasan dari Magna Charta, dan kemudian disempurnakan lagi dalam Bill of Rights pada tahun 1778. Bill of Rights menerangkan bahwa sebenarnya setiap manusia telah diciptakan bebas dengan dikaruniai hak-hak yang tidak dapat dirampas atau dienyahkan.
Setiap manusia berhak untuk hidup dalam kesejahteraan dan perdamaian tanpa rasa ketakutan akan dirampas hak miliknya oleh penguasa. Perlu diketahui bahwa kekuasaan itu sebenarnya bersal dari rakyat, tetapi oleh karena rakyat menyadari bahwa jika setiap orang diperbolehkan menggunakan hak-haknya sekehendaknya sendiri tentu akan timbul kekacauan, maka rakyat menyerahkan sebagian hak-haknya kepada penguasa. Sekalipun demikian jika rakyat diperlakukan sewenang-wenang, maka berdasarkan itu rakyat berhak pula merampas kembali kekuasaan itu dari penguasa.(John Locke, 1632-1704, tentang teori kontrak sosial).

Mulai pada akhir abad ke-18 muncul berbagai rumusan UUD dalam bentuknya seperti yang kita kenal dewasa ini. UUD dianggap sebagai jaminan yang paling efektif bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan dan hak-hak warga negara tidak dilanggar. Untuk itu perlu dicari suatu sistem asas-asas pokok yang menentukan kekuasaan itu dan hak baik yang memerintah (penguasa, the ruler), maupun yang diperintah (rakyat, the ruled).

Di negara-negara komunis tidak mengenal gagasan konstitualisme, karena sesuai dengan pandangannya bahwa seluruh aparatur serta aktifitas kenegaraan harus ditujukan kepada tercapainya masyarakat komunis. Di negara-negara komunis, UUD mempunyai fungsi ganda. Di satu pihak mencerminkan kemenangan-kemenangan yang telah dicapai dalam perjuangan kearah tercapainya masyarakat komunis, sekaligus merupakan pencatatan formal dan legal dari kemajuan yang telah dicapai. Di lain pihak UUD memberikan rangka dan dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicita-citakan dalam tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian jelasalah bahwa UUD komunis mengikuti perkembangan kearah terbentuknya masyarakat komunis dan diganti setiap kali tercapainya suatu tahap yang lebih maju. Oleh karena itu sukar untuk mengerti isi dan karakteristik UUD negara komunis tanpa dibekali dengan analisis historis dari perkembangan yang telah dicapai kearah terciptanya masyarakat komunis dalam negara yang bersangkutan.
Terdapat beberapa tahap yang tercermin dalam UUD negara komunis. Tahap pertama ialah berhasilnya perebutan kekuasaan oleh golongan komunis dan diselenggarakannya diktator proletariat. Tahap kedua ialah yang dinamakan ”terciptanya kemenangan sosialisme dan dimulainya pembangunan masyarakat komunis”. Di negara-negara komunis juga di negara-negara penganut totaliterisme lainnya, UUD dibuat hanya untuk alat legitimasi kekuasaan negara. Hal-hal ideal yang disebutkan secara rinci didalamnya hanya dijadikan simbol yang tidak pernah dicapai. Yang dilakukan negara adalah bagaimana memobilisasi semua sumber daya untuk mewujudkan masyarakat komunis. Oleh karena itu di negara-negara totaliter kesenjangan antara idealisasi yang ada di dalam UUD dan kenyataan sosial politik sangatlah jauh.

Akan tetapi, sekalipun ada perbedaan disana-sini, boleh dikatakan bahwa semua negara menganggap perlu untuk mempunyai suatu UUD yang tertulis sifatnya, begitu pula halnya dengan Indonesia.


IV.CIRI-CIRI UNDANG-UNDANG DASAR
UUD di masing-masing negara berbeda-beda, tetapi apabila diperhatikan secara cermat ada ciri-ciri yang sama, yaitu biasanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal berikut:
Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudhikatif serta hubungan diantara ketiganya. UUD juga memuat bentuk negara (misalnya federal atau negara kesatuan), beserta pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian atau antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Selain itu UUD memuat prosedur untuk menyelesaikan masalah pelanggaran yuridiksi oleh salah satu badan negara atau pemerintah dan sebagainya. Dalam arti ini UUD mempunyai kedudukan sebagai dokumen legal yang khusus.
Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah tersendiri).
Prosedur mengubah UUD (amandemen).
Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD. Hal ini biasanya ada jika para penyusun UUD ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi.
Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga negara tanpa terkecuali.

Selain itu mukadimah UUD sering memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara. Ungkapan ini mencerminkan semangat dan spirit yang oleh penyusun UUD ini diabadikan dalam UUD itu, sehingga mewarnai seluruh naskah UUD itu.




V.UNDANG-UNDANG DASAR dan KONVENSI
Setiap UUD mencerminkan konsep-konsep dan alam pikiran dari masa dimana ia dilahirkan, dan merupakan hasil dari keadaan material dan spiritual dari masa ia dibuat. Oleh karena itu, agar ketentuan-ketentuan UUD dapat mengikuti perkembangan zaman, para penyusunnya hanya menuliskan ketentuan-ketentuan dalam UUD hanya pada garis besarnya saja. Sehingga dapat timbul masalah yang tidak diatur atau tidak cukup diataur dalam UUD. Hal ini disebabkan pertama, karena masyarakat terus berkembang secara dinamis; kedua, karena penyusun UUD tidak sealu mampu melihat kedepan hal-hal yang perlu diatur dalam UUD. Maka dari itu, disamping UUD yang berbentuk naskah tertulis, di beberapa negara telah banyak timbul kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan atau konvensi.

Konvensi adalah aturan perilaku kenegaraan yang tidak didasarkan pada undang-undang melainkan pada kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan dan preseden. Konvensi ada dalam semua sistem UUD, dan biasanya memberikan panduan ketika aturan formal tidak memadai atau tidak jelas. Dalam konteks UUD tidak tertulis, konvensi merupakan hal yang signifikan karena ia memberikan arahan tentang prosedur, kekuasaan, dan kewajiban dari institusi-institusi negara. Dengan demikian ia mengisi adanya kekosongan dalam hukum yang terkodifikasi.

Disamping itu, ada konvensi berdasarkan putusan-putusan hakim (judge-made maxims). Konvensi-konvensi ini telah memungkinkan UUD untuk menyesuaikan diri dengan perubahan atau perkembangan zaman. Bahkan ada diantaranya yang mengubah arti asli dari naskah UUD itu sendiri. Adanya konvensi-konvensi itu diperlukan untuk melengkapi rangka dasar hukum UUD.


VI.PERGANTIAN UNDANG-UNDANG DASAR
Ada kalanya suatu UUD dibatalkan dan diganti dengan UUD baru. Hal semacam ini terjadi jika dianggap bahwa UUD yang ada tidak lagi mencerminkan konstelasi politik atau tidak lagi memenuhi harapan dan aspirasi rakyat.

Di negara-negara komunis pergantian UUD mencerminkan tercapainya tahap tertentu dalam perjuangan untuk mencapai masyarakat komunis.

Di Indonesia telah ada lima tahap perkembangan UUD, yaitu:
Tahun 1945 (UUD Republik Indonesia yang de facto hanya berlaku di Jawa, Madura dan Sumatera).
Tahun 1949 (UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku di seluruh Indonesia, kecuali Irian Barat).
Tahun 1950 (UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berlaku di seluruh Indonesia,kecuali Irian Barat).
Tahun 1959 (UUD Republik Indonesia 1945. UUD ini mulai 1959 berlaku di seluruh Indonesia, termasuk Irian Barat).
Tahun 1999 (UUD 1945 dengan amandemen dalam masa reformasi).

Lazimnya memang setiap pergantian UUD mencerminkan anggapan bahwa perubahan konstitusional yang dihadapi begitu fundamental, sehingga mengadakan amandemen saja terhadap UUD yang sedang berlaku dianggap tidak memadahi.


VII.PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR (AMANDEMEN)
Amandemen adalah perubahan sebagian UUD. Pada umumnya, UUD dianggap tidak boleh terlalu mudah diubah, oleh karena itu akan merendahkan arti simbolis UUD itu sendiri. Dilain pihak, hendaknya UUD jangan pula terlalu sukar diubah, agar mencegah generasi mendatang merasa terlalu terkekang dan karenanya bertindak diluar UUD.

Hal ini memunculkan masalah baru, yaitu siapa yang berwenang untuk mengubah UUD. Dalam hal ini terdapat prosedur yang berbeda-beda dari setiap negara, namun secara umum bisa dikatakan sebagai berikut:
Melalui sidang badan legislatif, terkadang dengan ditambahnya beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul amandemen dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerimanya.
Referendum atau Plebisit, (contoh: swiss,dll). Di Negara ini referendum dilaksanakan untuk memintakan persetujuan atas usul perubahan atau amandemen yang diajukan oleh anggota parlemen.
Negara-negara federal (contoh: Amerika Serikat), ¾ dari limapuluh Negara bagian harus menyetujui. Di Jerman, untuk mengubah Basic Law harus ada persetujuan 2/3 dari anggota bundestag maupun bundesrat.
Musyawarah khusus (special convention) seperti yang diberlakukan di beberapa Negara Amerika Latin.

Di Indonesia, kewenangan merubah UUD ada di tangan MPR dengan ketentuan bahwa kuorum adalah 2/3 dari anggota MPR, sedangkan usul perubahan UUD harus diterima oleh 2/3 dari anggota yang hadir (Pasal 37). UUD 1945 telah 4 kali di amandemen dan menyebabkan perubahan dalam sistem ketatanegaraan di Negara kita.


VIII.SUPREMASI UNDANG-UNDANG DASAR
Hukum tertinggi (supreme law), yang harus ditaati baik oleh rakyat maupun oleh alat-alat perlengkapan Negara. Dengan adanya gagasan bahwa UUD berbeda dengan undang-undang biasa ini menyebabkan timbulnya persoalan siapakah yang akan menjamin ketentuan-ketentuan UUD benar-benar diselenggarakan menurut jiwa dan kata-kata dari naskah, baik oleh badan eksekutif maupun oleh badan-badan pemerintah lainnya.

Di Inggris, parlemen lah yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan ketentuan-ketentuan konstitusional dan menjaga agar semua undang-undang dan peraturan sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konstitusional itu (parlementary supremacy atau legislative supremacy). Hal ini didasari bahwa kedaulatan rakyat diwakilkan pada parlemen, oleh karena itu perlemen lah pemegang kewenangan yang boleh merubah atu membatalkan undang-undang yang dianggapnya tidak sesuai dan bertentangan dengan ketentuan UUD.

Akan tetapi, kekuasaan yang terpusat pada parlemen ini mulai menuai kritik. Karena dikhawatirkan akan terjadi elective dictatorship, yaitu dimana pemerintah dapat melakukan apa saja sepanjang ia mampu memegang kontrol mayoritas di parlemen.

Lain halnya yang berlaku di negara yang berbentuk federasi. Paham yang berlaku disana adalah bahwa perlu ada suatu badan diluar badan legislatif yang berhak meneliti apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan UUD. Oleh karena itu, di negara yang berbentuk federasi kewenangan ini diserahkan pada Mahkamah Agung Federal dan berlaku asas judicial supermacy, serta Mahkamah Agung dianggap sebagai pengaman UUD (guardian of the constitution). Hal ini disebabkan karena hakim-hakim Mahkamah Agung lebih bijak dan profesional karena pendidikan dan pengalamannya di bidang hukum, serta karena kedudukannya yang bebas dari tekanan dan fluktuasi politik.

Di Indonesia, berdasarkan UUD 1945 yang diamandemen, juga telah dibentuk sebuah lembaga yang berwenang menguji apakah sebuah undang-undang bertentangan dengan UUD atau tidak. Dalam hal ini lembaga yang dimaksud adalah Mahkamah Konstitusi.

Di Negara yang mempunyai UUD tidak tertulis (misal: Inggris), sangat sukar membedakan antara hukum UUD dan hukum biasa. Hal ini dikarenakan setiap ketentuan konstitusional – apakah berupa undang-undang biasa atau keputusan hakim – dapat diubah atau ditinjau oleh parlemen; jadi statusnya tidak berbeda dengan undang-undang biasa. Di negara-negara lain yang mempunyai UUD tertulis, undang-undang dianggap sebagai hukum yang tertinggi yang lebih bersifat mengikat daripada undang-undang biasa.


IX.UNDANG-UNDANG DASAR TERTULIS dan UNDANG-UNDANG DASAR TIDAK TERTULIS
Sudah sewajarnya dilakukan pembedaan antara UUD tertulis dan UUD tidak tertulis. UUD tertulis adalah UUD bernaskah (codified constitution). Sedangkan UUD tidak tertulis adalah UUD yang tidak merupakan satu naskah dan banyak dipengaruhi tradisi dan konvensi (non-codified constitution). Akan tetapi analisis ilmiah tetap mempertahankan diskusi mengenai pembedaan ini, berdasarkan pertimbangan bahwa tidak ada satu UUD yang naskahnya mencakup semua proses dan fakta konstitusional, artinya seratus persen tertulis. Begitupula tidak ada satu UUD yang hanya terdiri dari konvensi yang tidak tertulis tanpa ada peraturan-peraturan tertulis.
A.UNDANG-UNDANG DASAR TIDAK TERTULIS
UUD Inggris adalah salah satu contoh UUD tidak tetulis. Akan tetapi bila diselidiki ternyata sebagian besar UUD itu terdiri dari berbagai bahan tulis berupa dokumen-dokumen resmi. Di Inggris tidak ada pembedaan antara undang-undang tata negara dan undang-undang biasa, oleh karenanya parlemen sebagai badan tertinggi (parliamentary supermacy), berhak untuk mengadakan perubahan konstitusional dengan undang-undang biasa.

Ketentuan-ketentuan ketatatnegaraan Inggris yang merupakan UUD terdapat dalam:
Beberapa undang-undang, antara lain:
Magna Charta tahun 1215
Bill of Rights tahun 1689 dan Act of Settlement tahun 1701
Parliament Act tahun 1911 dan 1949
Beberapa keputusan hakim, terutama yang merupakan tafsiran terhadap undang-undang parlemen.
Konvensi-konvensi (aturan-aturan antara lain berdasarkan tradisi) yang mengatur hubungan antara Kabinet dengan parlemen.

Jadi, UUD Inggris disebut tidak tertulis dalam arti ia tidak bersifat naskah tunggal serta konvensi dan tradisi memegang peranan yang lebih penting.

Beberapa konvensi yang ada di Inggris adalah:
Prinsip tanggung jawab politik yang merupakan tulang punggung sistem pemerintahan di Inggris, yaitu bahwa kabinet kalau tidak lagi mendapat kepercayaan dari mayoritas anggota Majelis Rendah harus mengundurkan diri.
Jika kabinet mengundurkan diri, maka raja pertama-tama memberi kesempatan kepada pemimpin partai oposisi untuk membentuk kabinet baru.
Setiap waktu, sebelum berakhirnya masa jabatan anggota Majelis Rendah, Perdana Menteri dapat meminta kepada raja untuk membubarkan majelis itu dan mengadakan pemilihan umum baru. Dengan demikian perselisihan antara kabinet dan parlemen pada tahap akhir diputuskan oleh rakyat.
Perdana Menteri merupakan anggota Majelis Rendah.

Dilihat dari segi yuridis, konvensi tidak memiliki kekuatan hukum dan badan-badan peradilan tidak dapat melaksanakannya. Akan tetapi, konvensi-konvensi ini tetap ditaati karena salah satu penyebabnya ialah faktor praktisnya. Dan konvensi pernah dinamakan oleh sorang filsuf Inggris J.S Mill sebagai ”Aturan-aturan keakhlakan umum” (rule of public morality).

Pada masa dewasa ini banyak konvensi yang dituangkan dalam bentuk undang-undang (kodifikasi), sehingga boleh diperkirakan dimasa yang akan datang jumlah konvensi akan berkurang. Salah satu penganjur dari kodifikasi konvensi adalah Ivor Jennings yang dalam bukunya Cabinet Government menggunakan alasan-alasan sebagai berikut:
Undang-undang lebih besar kewibawaannya daripada konvensi.
Pelanggaran terhadap undang-undang lebih mudah diketahui dan dapat diambil tindakan cepat. Untuk seorang hakim lebih mudah menafsirkan undang-undang daripada konvensi yang tidak tertulis.
Undang-undang biasanya timbul dari kebiasaan, dan kadang-kadang sukar menetapkan kapan suatu kebiasaan menjadi konvensi.

Hal ini juga didukung oleh Joseph Raz dalam tulisannya ”On the Authority and Interpretation of Constitutions”, dikatakan bahwa ”Asas-asas moralitas sering mengurangi kewibawaan UUD, sehingga praktik dan konvensinya mengisi kekosongan ini. Boleh saja konvensi timbul, tetapi Undang-Undang Dasar harus tetap jelas dan lengkap untuk menjamin stabilitas politik”.

B.UNDANG-UNDANG DASAR TERTULIS
UUD Amerika Serikat adalah yang tertua di dunia, yaitu tahun 1787 dan diresmikan pada tahun 1789. Hak asasi warga negara diatur dalam satu naskah tersendiri yang dinamakan Bill of Rights. Dilain pihak ada beberapa ketentuan ketatanegaraan yang tidak termuat dalam UUD, misalnya adanya partai politik atau wewenang Mahkamah Agung untuk menguji undang-undang (judicial review).

Ketentuan konstitusional Amerika Serikat terdapat dalam:
Naskah UUD
Sejumlah undang-undang
Sejumlah keputusan Mahkamah Agung berdasarkan hak menguji.


X.UNDANG-UNDANG DASAR YANG FLEKSIBEL dan UNDANG-UNDANG DASAR YANG KAKU
UUD juga diklasifikasikan menurut sifat fleksibel (supel) dan kaku (rigid). Menurut C.F. Strong dan Rod Haque, suatu UUD yang dapat diubah dengan prosedur yang sama dengan prosedur membuat undang-undang disebut fleksibel. Sedangkan UUD yang hanya dapat diubah dengan prosedur yang berbeda dengan prosedur membuat undang-undang disebut kaku. Soal fleksibel atau tidaknya ini amatlah penting. Kalau terlalu kaku, maka hal ini dapat mengakibatkan timbulnya tindakan-tindakan yang melanggar UUD. Akan tetapi apabila terlalu fleksibel maka UUD dianggap kurang berwibawa dan dapat disalahgunakan.


A.UNDANG-UNDANG DASAR YANG FLEKSIBEL
Gagasan mengenai undang-undang yang fleksibel di Inggris berdasarkan konsep supermasi parlemen (parliamentary supermacy). Parlemen dianggap sebagai satu-satunya lembaga yang dapat mengubah atau membatalkan undang-undang yang pernah dibuat oleh badan itu. Mahkamah Agung tidak mempunyai wewenang untuk menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD. Bahkan parlemen dapat menyatakan bahwa sesuatu tafsiran seorang hakim itu salah dan menggantinya dengan tafsiran parlemen sendiri. Pernah dikatakan bahwa parlemen Inggris dapat melakukan apa saja, kecuali mengubah pria menjadi wanita maupun wanita menjadi pria. Hal ini merupakan UUD yang bersifat fleksibel.

B.UNDANG-UNDANG DASAR YANG KAKU
Berdasarkan perumusan diatas, jumlah UUD yang bersifat kaku lebih banyak dari UUD yang bersifat fleksibel. Hal ini disebabkan karena UUD menentukan perlunya partisipasi dari badan lain disamping parlemen untuk mengambil keputusan semacam ini. UUD yang kaku biasanya hasil kerja dari suatu konstituante yang dianggap lebih tinggi kekuasaannya dari parlemen karena memiliki ”kekuasaan membuat UUD” (pouvoir constituant). Oleh karena itu biasanya konstituante dibubarkan pada saat tugasnya selesai, maka dirasa perlu untuk memberikan pedoman bagi generasi mendatang mengenai prosedur mengubah UUD yang baru disusun itu. Bahkan adakalanya dicantumkan ketentuan bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh diubah, misal: bentuk negara, dll. Hal ini juga menuai kritik, karena konstituante mempunyai kekuasaan yang tertinggi dan dapat berbuat menurut kehendaknya, termasuk mengubah bentuk negara dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena efektifitas dari larangan-larangan yang ada pada pedoman prosedur mengubah UUD masih cukup diragukan.


XI.UNDANG-UNDANG DASAR INDONESIA
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat diketahui bahwa UUD yang berlaku beberapa kali mengalami pergantian, yaitu UUD 1945 kemudian diganti UUD RIS 1949, lalu berganti dengan UUD sementara 1950, dan akhirnya kembali ke UUD 1945. UUD yang kini berlaku itu juga mengalami empat kali amandemen.

UUD 1945 ditetapkan sebagai UUD Indonesia oleh PPKI dan berisi ketetapan bahwa bersifat sementara dengan ketentuan bahwa 6 bulan setelah perang berakhir, Presiden akan melaksanakan UUD itu, dan 6 bulan setelah MPR terbentuk, lembaga ini akan mulai menyusun UUD yang baru. UUD itu menetapkan sistem pemerintahan presidensial dengan kekuasaan yang besar ditangan presiden, meskipun kekuasaan tertinggi berada ditangan MPR. Selain itu, ada DPR dan DPA yang berwenang memberi nasihat kepada presiden dan MA.

Karena gentingnya situasi, UUD dilakukan perubahan dimana menetapkan bahwa untuk pertama kali seorang presiden akan dipilih oleh PPKI dan bahwa, karena MPR dan DPR belum terbentuk maka wewenang kedua badan ini akan dijalankan oleh presiden dengan nasihat dari KNIP.

Pada awalnya KNIP dimaksudkan sebagai badan penasihat presiden. Akan tetapi sekelompok tokoh intelektual berpendapat bahwa akan lebih demokratis jika KNIP diberi wewenang sebagai semacam badan legislatif dengan kekuasaan legislatif bersama presiden. Kemudian Presiden menandatangani Maklumat Presiden No.X , 16 Oktober 1945 yang menerangkan bahwa KNIP diberi kekuasaan legislatif dan wewenang untuk ikut serta dalam penentuan GBHN, hal ini terjadi karena MPR dan DPR belum dapat dibentuk.

Kemudian KNIP membentuk Badan Pekerja untuk menjalankan tugas harian KNIP. Badan ini beranggotakan dari anggota KNIP dan bertanggung jawab (ministerial responsibility) kepada KNIP. Badan ini kemudian menjadi penggerak revolusi dan pada tanggal 11 November 1945 mengajukan petisi kepada pemerintah agar para menteri kabinet bertanggung jawab kepada KNIP, bukan kepada presiden. Dengan turunnya Maklumat Presiden yang berlaku mulai tanggal 14 November 1945. Presiden melantik kabinet parlementer pertama dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri, hal ini menyebabkan UUD diamandemen dari sistem presidensial menjadi parlementer. Oleh karena itu, jabatan kepala negara (presiden) dipisahkan dari jabatan kepala pemerintahan (perdana menteri).

Karena besarnya pengaruh presiden Soekarno selama UUD ini berlaku (Agustus1945-akhir 1949) telah terjadi beberapa kali penyimpangan praktik kenegaraan gfuna memngembalikan kekuasaan terpusat ditangan presiden untuk mengatasi keadaan darurat yang timbul. Hal terjadi tiga kali, yaitu:
Dengan Maklumat Presiden, Presiden mengambil alih kekuasaan dari 28 Juni-2 Oktober 1946 untuk mengatasi keadaan darurat yang diakibatkan oleh penculikan terhadap beberapa anggota kabinet oleh Persatuan Perjuangan. Organisasi ini tidak menyetujui perundingan dengan pihak Belanda.
Dengan Maklumat Presiden, Presiden mengambil alih kekuasaan dari 27 Juni-3 Juli 1947 untuk menatasi keadaan darurat yang timbul pasca penandatanganan Persetujuan Linggar Jati. Dalam masa itu, kabinet Sjahrir mengundurkan diri dari kabinet Amir Syarifuddin dibentuk.
Dengan suatu undang-undang badan legislatif (yaitu Badan Pekerja yang bertindak atas nama KNIP) memberikan kekuasaan penuh (plein pouvoir) kepada presiden selama tiga bulan mulai 15 September 1948 (Undang-undang No.20 September 1948). Pemberian kekuasaan penuh ini dimaksudkan untuk mengatasi pemberontakan PKI di Madiun.

Berhubung hingga tahun 1945 MPR belum juga terbentuk, maka hingga saat itu belum tersusun UUD baru. Ditambah lagi hasil perundingan dengan Belanda (KMB) menyebabkan Indonesia terpaksa menerima bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949. Dengan UUD RIS 1949, Indonesia manjadi negara federal yang terpaksa menerima statusnya sebagai negara yang tadinya kekuasaannya diakui secara de facto menjadi sekedar satu negara bagian dari suatu federasi saja. Kemudian rakyat diberbagai negara bagian banyak melakukan perlawanan, akhirnya pada bulan April 1950, 13 negara bagian menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia untuk membentuk negara kesatuan, terkecuali Indonesia Timur dan Sumatera Timur yang bertahan statusnya sebagi negara bagian. Akhirnya pada 17 Agustus 1950 pemerintah federal dan Republik Indonesia sepakat untuk membentuk negara kesatuan dan menggunakan UUD Sementara 1950 sebagai UUD-nya.

Sama halnya dengan UUD 1945, UUD Sementara 1950 mengamanatkan untuk segera disusun sebuah UUD baru. Hal ini tercantum pada Pasal 134 UUD Sementara 1950: ”Konstituante bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUD ini”.

Konstituante yang terbentuk melalui Pemilu pada Desember 1955 ternyata tidak mampu menyusun UUD baru. Oleh karena itu Presiden pada bulan April 1959 menyampaikan anjuran pada konstituante untuk kembali pada UUD 1945. Akan tetapi masih terjadi juga sidang konstituante yang berjalan alot dan belum menemui titik temu, sehingga presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi menetapkan kembali UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, sistem ketatanegaraan disesuaikan dengan UUD 1945 dan menyebabkan sistem pemerintahan kembali pada sistem presidensial.

Setelah Presiden Soekarno jatuh dari kekuasaan dan digantikan oleh rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Kemudian pada masa ini Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR dan MPR mulai dipersiapkan, dan kemudian diselenggarakan setiap 5 tahun. Semua produk-produk MPRS dan DPRS yang bertentangan dengan UUD 1945 dicabut, termasuk ketentuan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dikembalikan ke posisi semestinya, demikian pula kedudukan DPR dan MA juga dipulihkan.

Pada masa Orde Baru, hasrat untuk melakukan perubahan terhadap UUD cukup besar. Akan tetapi hambatannya juga besar. Hambatan untuk perubahan undang-undang mencapai bentuknya yang formal pada tahun 1983 dengan keluarnya Tap MPR No. IV/1983 tentang referendum, yang kemudian disusul dengan keluarnya Undang-Undang No. 5/1985 tentang hal yang sama. Pada pokoknya ketetapan MPR dan undang-undang tersebut menentukan bahwa apabila MPR hendak mengadakan perubahan UUD 1945, terlebih dahulu harus dimintakan pendapat rakyat secara langsung melalui referendum. Ada ketentuan yang sangat sulit untuk dipenuhi yaitu 90% dari warga negara yang mempunyai hak suara harus memberikan suaranya dan 90% dari mereka yang memberikan suaranya itu harus setuju. Dengan kedua produk hukum tersebut Pasal 37 UUD 1945 yang memberikan wewenang pada MPR untuk mengadakan perubahan tersebut dinonaktifkan.

Keinginan untuk mengadakan perubahan datang lagi ketika rezim Orde Baru jatuh pada pertengahan 1998. Sidang Istimewa MPR pada tanggal 10-13 November 1998 menghasilkan berbagai ketetapan penting, diantaranya adalah Tap MPR No. 8/1998 yang isinya mencabut Tap MPR No. 4/1983. Sedangkan Undang-Undang No. 5/1985 juga dicabut dengan Undang-Undang No. 6/1999. Dengan demikian, jalan untuk mengajukan perubahan UUD 1945 kembali terbuka. Akan tetapi, sejak saat itu perubahan UUD 1945 dilakukan dengan jalan amandemen. Hingga kini telah dilakukan empat kali amandemen pada UUD 1945, yaitu:
Amandemen Pertama, dilakukan melalui Sidang Umum MPR Oktober 1999.
Amandemen Kedua, dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR Agustus 2000.
Amandemen Ketiga, dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR Oktober 2001.
Amandemen Keempat, dilakukan melalui Sidang Tahunan MPR Agustus 2002.

Apabila dilihat dari rumusan klasifikasi UUD menurut C.F Strong, UUD Indonesia tergolong UUD yang kaku. Ini disebabkan karena prosedur untuk melakukan perubahan atas UUD berbeda dengan prosedur membuat undang-undang. Di lain pihak, para penyusun UUD 1945 memiliki pandangan lain mengenai fleksibel tidaknya suatu UUD. Mengenai UUD 1945 yang hanya terdiri dari 37 pasal, mereka dalam penjelasan menyebutnya singkat dan soepel (elastis) berdasarkanpertimbangan berikut: ”UUD hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahakan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah, dan mencabut”.

Sumber : Prof. Miriam Budiardjo. Dasar - Dasar Ilmu Politik ( Edisi Revisi ). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006 )

Pengantar Ilmu Politik ( Partai Politik)

Please Download via this link

Pengantar Ilmu Komunikasi

Please Download via this link

Komunikasi Massa

Please Download via this link

Arti Penting Komunikasi

Please download via this link